mengangkat tangan saat do'a khutbah jum'at

Perlu diketahui bahwa do’a tidak selamanya dengan mengangkat tangan. Beberapa kondisi ada contoh bagi kita untuk mengangkat tangan, bahkan ini hukum asalnya. Namun ada beberapa keadaan yang tidak dianjurkan mengangkat tangan. Bagaimana dengan do’a saat khutbah Jum’at? Apakah dianjurkan bagi imam maupun makmum untuk mengangkat tangan? Kami berusaha menyajikan beberapa argumen akan masalah ini disertai memilih pendapat yang lebih kuat. Allahumma yassir wa a’in.
Ulama yang Menganjurkan Mengangkat Tangan
Yang membolehkan berdalil dengan keumuman hadits yang menunjukkan bahwa di antara adab berdo’a adalah dengan mengangkat tangan. Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِى إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
Sesungguhnya Allah itu Maha Hidup lagi Mulia, Dia malu jika ada seseorang yang mengangkat tangan menghadap kepada-Nya lantas kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa dan tidak mendapatkan hasil apa-apa.” (HR. Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini adalah hadits umum untuk mengangkat tangan dalam setiap do’a.
Yang membolehkan hal ini adalah sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah, sebagaimana dikatakan oleh Al Qadhi Husain (Lihat Syarh Muslim, 6: 162). Di antara dalil mereka lagi adalah ketika do’a khutbah Jum’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan yaitu saat do’a istisqa’ (minta hujan).
Dari Anas bin Malik, ia berkata,
أَصَابَتِ النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَبَيْنَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَخْطُبُ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَ الْمَالُ وَجَاعَ الْعِيَالُ ، فَادْعُ اللَّهَ لَنَا . فَرَفَعَ يَدَيْهِ ، وَمَا نَرَى فِى السَّمَاءِ قَزَعَةً ، فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا وَضَعَهَا حَتَّى ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الْجِبَالِ ، ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ – صلى الله عليه وسلم
Pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi kemarau yang panjang. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seorang Badui berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta telah rusak dan keluarga telah kelaparan. Berdo’alah kepada Allah untuk kami (untuk menurunkan hujan) !’. Maka beliau pun mengangkat kedua tangannya – ketika itu kami tidak melihat awan di langit – dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, beliau tidak menurunkan kedua tangannya, hingga kemudian muncullah gumpalan awan tebal laksana gunung. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak turun dari mimbar hingga aku melihat hujan menetes deras di jenggotnya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. (HR. Bukhari no. 933)
Dalil yang Menyatakan Tidak Mengangkat Tangan
عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ.
Dari Hushain (bin ’Abdirrahman) dari ‘Umaarah bin Ruaibah ia berkata bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar dengan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka ‘Umaarah pun berkata : “Semoga Allah menjelekkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di atas minbar tidak menambahkan sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya” (HR. Muslim no. 874).
Dalam riwayat lain disebutkan,
مَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menambah lebih dari itu dan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. An Nasai no. 1412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ulama yang Tidak Menganjurkan Mengangkat Tangan
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ . وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ بَعْض السَّلَف وَبَعْض الْمَالِكِيَّة إِبَاحَته لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي خُطْبَة الْجُمُعَة حِين اِسْتَسْقَى وَأَجَابَ الْأَوَّلُونَ بِأَنَّ هَذَا الرَّفْع كَانَ لِعَارِضٍ .
 “Yang sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengangkat tangan (untuk berdo’a) saat berkhutbah. Ini adalah pendapat Imam Malik, pendapat ulama Syafi’iyah dan lainnya. Namun, sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah membolehkan mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah mengangkat tangan kala itu saat berdo’a istisqa’ (minta hujan). Namun ulama yang melarang hal ini menyanggah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan saat itu karena ada suatu sebab (yaitu khusus pada do’a istisqa’).”  (Syarh Muslim 6: 162)
Ulama besar Saudi Arabia yang pernah menjabat sebagai ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengangkat tangan bagi makmum untuk mengaminkan do’a imam saat khutbah Jum’at? Apa hukum mengaminkan do’a tersebut dengan mengeraskan suara?”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab,
Mengangkat tangan ketika khutbah Jum’at tidaklah disunnahkan bagi imam maupun bagi makmum. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan seperti ini. Begitu pula perbuatan semisal ini tidak pernah dilakukan oleh khulafaur rosyidin. Akan tetapi jika do’a tersebut untuk do’a istisqa’ (minta hujan) pada khutbah Jum’at, disunnahkan bagi makmum untuk mengangkat tangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berdo’a minta hujan saat khutbah Jum’at. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al Ahzab: 21).
Adapun makmum mengaminkan do’a imam ketika khutbah, maka menurutku tidaklah mengapa, namun dengan tidak mengeraskan suara. (Sumber fatwa di sini)
Kesimpulan, pendapat yang menyatakan tidak mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at kami nilai lebih kuat. Sedangkan dalil Salman yang menunjukkan adab do’a adalah mengangkat tangan, itu adalah dalil umum dan dikhususkan dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khutbah hanya mengisyaratkan dengan jari telunjuk.
Lantas bagaimana dengan makmum? Tidak ada dalil yang membicarakan mengenai makmum apakah mengangkat tangan ataukah tidak saat do’a imam ketika khutbah Jum’at. Sebagian ulama menyatakan boleh saja mengangkat tangan karena hukum asal do’a adalah mengangkat tangan. Ulama lain menyatakan tidak perlu mengangkat tangan karena sama dengan imam dan jika mengangkat tangan dituntunkan bagi makmum, tentu akan sampai hadits mengenai hal itu kepada kita (Lihat fatwa islamweb di sini). Intinya di sini ada khilaf (beda pendapat). Namun pendapat yang kami rasa lebih kuat adalah makmum tetap tidak mengangkat tangan sebagaimana alasan yang telah disebutkan dan ditunjukkan pula dalam fatwa Syaikh Ibnu Baz di atas.
Wallahu a’lam. Wa billahit taufiq.

hukum membaca ramalan bitang, zodiak dan shio

Ramalan salah satu zodiak di tahun 2012:
Kehidupan cinta Anda tidak terlalu menyenangkan tahun ini. Akan sulit sekali berkomunikasi dengan si dia, tapi Anda harus berusaha keras jika ada sesuatu yang ingin Anda luruskan.
Hubungan Anda mungkin juga akan mengalami perubahan, namun ke arah yang lebih baik. Untuk yang single, pertemuan dengan pria baru akan mengubah hidup Anda.
Info-info semacam inilah yang menyebar di tengah-tengah pemuda di awal tahun baru 2012. Untuk menjalani tahun 2012, mereka membaca nasib lewat ramalan bintang atau zodiak tersebut. Mereka ingin mencari tahu bagaimana nasib cinta mereka, bagaimana rizki mereka, dan bagaimana keberuntungan mereka di tahun 2012. Padahal ajaran Islam sangat melarang keras hal ini, namun banyak yang tidak memahaminya karena tidak mau belajar akidah dan mengenal Islam lebih dalam.
Ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum membaca ramalan bintang, zodiak dan semisalnya.
Jawaban beliau rahimahullah,
Yang disebut ilmu bintang, horoskop, zodiak dan rasi bintang termasuk di antara amalan jahiliyah. Ketahuilah bahwa Islam datang untuk menghapus ajaran tersebut dan menjelaskan akan kesyirikannya. Karena di dalam ajaran tersebut terdapat ketergantungan pada selain Allah, ada keyakinan bahwa bahaya dan manfaat itu datang dari selain Allah, juga terdapat pembenaran terhadap pernyataan tukang ramal yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dengan penuh kedustaan, inilah mengapa disebut syirik. Tukang ramal benar-benar telah menempuh cara untuk merampas harta orang lain dengan jalan yang batil dan mereka pun ingin merusak akidah kaum muslimin. Dalil yang menunjukkan perihal tadi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
Barangsiapa mengambil ilmu perbintangan, maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir, akan bertambah dan terus bertambah.[1]
Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang jayyid dari ‘Imron bin Hushoin, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَّرَ أَوْ سُحِّرَ لَهُ
Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang beranggapan sial atau membenarkan orang yang beranggapan sial, atau siapa saja yang mendatangi tukang ramal atau membenarkan ucapannya, atau siapa saja yang melakukan perbuatan sihir atau membenarkannya.”[2]
Siapa saja yang mengklaim mengetahui perkara ghaib, maka ia termasuk dalam golongan kaahin (tukang ramal) atau orang yang berserikat di dalamnya. Karena ilmu ghaib hanya menjadi hak prerogatif Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” (QS. An Naml: 65).
Nasehatku bagi siapa saja yang menggantungkan diri pada berbagai ramalan bintang, hendaklah ia bertaubat dan banyak memohon ampun pada Allah (banyak beristighfar). Hendaklah yang jadi sandaran hatinya dalam segala urusan adalah Allah semata, ditambah dengan melakukan sebab-sebab yang dibolehkan secara syar’i. Hendaklah ia tinggalkan ramalan-ramalan bintang yang termasuk perkara jahiliyah, jauhilah dan berhati-hatilah dengan bertanya pada tukang ramal atau membenarkan perkataan mereka. Lakukan hal ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam rangka menjaga agama dan akidah.
(Dinukil dengan perubahan redaksi dari Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2: 123)
Syaikh Sholih Alu Syaikh -hafizhohullah- mengatakan, “Jika seseorang membaca halaman suatu koran yang berisi zodiak yang sesuai dengan tanggal kelahirannya atau zodiak yang ia cocoki, maka ini layaknya seperti mendatangi dukun. Akibatnya cuma sekedar membaca semacam ini adalah tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Sedangkan apabila seseorang sampai membenarkan ramalan dalam zodiak tersebut, maka ia berarti telah kufur terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid oleh Syaikh Sholih Alu Syaikh pada Bab “Maa Jaa-a fii Tanjim”, hal. 349)
Intinya, ada dua rincian hukum dalam masalah ini.
Pertama: Apabila cuma sekedar membaca zodiak atau ramalan bintang, walaupun tidak mempercayai ramalan tersebut atau tidak membenarkannya, maka itu tetap haram. Akibat perbuatan ini, shalatnya tidak diterima selama 40 hari.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230). Ini akibat dari cuma sekedar membaca.
Maksud tidak diterima shalatnya selama 40 hari dijelaskan oleh An Nawawi: “Adapun maksud tidak diterima shalatnya adalah orang tersebut tidak mendapatkan pahala. Namun shalat yang ia lakukan tetap dianggap dapat menggugurkan kewajiban shalatnya dan ia tidak butuh untuk mengulangi shalatnya.”  (Syarh Muslim, 14: 227)
Kedua: Apabila sampai membenarkan atau meyakini ramalan tersebut, maka dianggap telah mengkufuri Al Qur’an yang menyatakan hanya di sisi Allah pengetahuan ilmu ghoib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad no. 9532, hasan)
Namun jika seseorang membaca ramalan tadi untuk membantah dan membongkar kedustaannya, semacam ini termasuk yang diperintahkan bahkan dapat dinilai wajib. (Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1: 330)
Syaikh Sholih Alu Syaikh memberi nasehat, “Kita wajib mengingkari setiap orang yang membaca ramalan bintang semacam itu dan kita nasehati agar jangan ia sampai terjerumus dalam dosa. Hendaklah kita melarangnya untuk memasukkan majalah-majalah yang berisi ramalan bintang ke dalam rumah karena ini sama saja memasukkan tukang ramal ke dalam rumah. Perbuatan semacam ini termasuk dosa besar (al kabair) –wal ‘iyadzu billah-. …
Oleh karena itu, wajib bagi setiap penuntut ilmu agar mengingatkan manusia mengenai akibat negatif membaca ramalan bintang. Hendaklah ia menyampaikannya dalam setiap perkataannya, ketika selesai shalat lima waktu, dan dalam khutbah jum’at. Karena ini adalah bencana bagi umat. Namun masih sangat sedikit yang mengingkari dan memberi peringatan terhadap kekeliruan semacam ini.” (Lihat At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid, hal. 349)
Dari sini, sudah sepatutnya seorang muslim tidak menyibukkan dirinya dengan membaca ramalan-ramalan bintang melalui majalah, koran, televisi atau lewat pesan singkat via sms. Begitu pula tidak perlu seseorang menyibukkan dirinya ketika berada di dunia maya untuk mengikuti berbagai ramalan-ramalan bintang yang ada. Karena walaupun tidak sampai percaya pada ramalan tersebut, tetap seseorang bisa terkena dosa jika ia bukan bermaksud untuk membantah ramalan tadi. Semoga Allah melindungi kita dan anak-anak kita dari kerusakan semacam ini.
Nasehat
Ramalan bukan hanya datang dari tukang ramal dengan bertanya langsung, namun saat ini bisa masuk ke rumah-rumah kaum muslimin dengan begitu mudah, baik lewat media cetak, TV, atau pun internet. Kita berlindung kepada Allah semoga diri kita, anak-anak kita, kerabat-kerabat kita terbebas dari membaca dan mempercayai ramalan bintang, serta dijauhi segala bentuk perbuatan syirik. Jadikanlah satu-satunya sandaran dalam segala urusan adalah Allah Ta’ala semata,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Al Qurtubi mengatakan, ”Barangsiapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.” (Al Jami’ Liahkamil Qur’an, 18: 161). Jika Allah jadi satu-satunya sandaran, maka rizki, jodoh, dan segala urusan akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
إِنْ أُرِ‌يدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّـهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.


[1] HR. Abu Daud no. 3905, Ibnu Majah no. 3726 dan Ahmad 1: 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan.
[2] HR. Al Bazzar dalam musnadnya.
Penulis Fathul Majid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Siapa saja yang menerjangi perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits tersebut, berarti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri darinya. Bisa saja perkara yang dilakukan adalah kesyirikan seperti beranggapan sial. Bisa pula kekufuran seperti mempercayai tukang ramal dan melakukan sihir. Siapa saja yang ridho dan mengikuti hal-hal tadi, maka ia dihukumi seperti pelakunya karena ia menerima dan mengikuti hal yang batil.” (Fathul Majid, 316)

Bismillah. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad bin Abdullah shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ajarannya hingga hari kiamat.
Akhir-akhir ini banyak sekali pertanyaan dari beberapa orang seputar derajat hadits huru-hara akhir zaman yang terjadi pada pertengahan bulan Ramadhan yang bertepatan dengan hari Jumat.
Maka kami katakan, bahwa para ulama hadits terdahulu maupun yang hidup di zaman sekarang telah menerangkan dengan jelas dan gamblang bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang masalah tersebut tidak ada satu pun yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, baik ditinjau dari segi sanad hadits maupun realita yang ada. Bahkan semuanya adalah hadits-hadits munkar dan palsu yang didustakan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Berikut ini akan saya sebutkan teks (lafazh) hadits tersebut dengan sanadnya, serta studi kritis para ulama terhadapnya.
قَالَ نُعَيْمٌ بْنُ حَمَّادٍ : حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ قَالَ : حَدَّثَنِي عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ حُسَيْنٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْحَارِثِ الْهَمْدَانِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “إذا كانَتْ صَيْحَةٌ في رمضان فإنه تكون مَعْمَعَةٌ في شوال، وتميز القبائل في ذي القعدة، وتُسْفَكُ الدِّماءُ في ذي الحجة والمحرم.. قال: قلنا: وما الصيحة يا سول الله؟ قال: هذه في النصف من رمضان ليلة الجمعة فتكون هدة توقظ النائم وتقعد القائم وتخرج العواتق من خدورهن في ليلة جمعة في سنة كثيرة الزلازل ، فإذا صَلَّيْتُمْ الفَجْرَ من يوم الجمعة فادخلوا بيوتكم، وأغلقوا أبوابكم، وسدوا كواكـم، ودَثِّرُوْا أَنْفُسَكُمْ، وَسُـدُّوْا آذَانَكُمْ إذا أَحْسَسْتُمْ بالصيحة فَخَرُّوْا للهِ سجدًا، وَقُوْلُوْا سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ ، ربنا القدوس فَمَنْ يَفْعَلُ ذَلك نَجَا، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ هَلَكَ)
Nu’aim bin Hammad berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abu Umar, dari Ibnu Lahi’ah, ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab bin Husain, dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani, dari ayahnya, dari Al-Harits Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: “Bila telah muncul suara di bulan Ramadhan, maka akan terjadi huru-hara di bulan Syawal, kabilah-kabilah saling bermusuhan (perang antar suku, pent) di bulan Dzul Qa’dah, dan terjadi pertumpahan darah di bulan Dzul Hijjah dan Muharram…”. Kami bertanya: “Suara apakah, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suara keras di pertengahan bulan Ramadhan, pada malam Jumat, akan muncul suara keras yang membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, para gadis keluar dari pingitannya, pada malam Jumat di tahun terjadinya banyak gempa. Jika kalian telah melaksanakan shalat Subuh pada hari Jumat, masuklah kalian ke dalam rumah kalian, tutuplah pintu-pintunya, sumbatlah lubang-lubangnya, dan selimutilah diri kalian, sumbatlah telinga kalian. Jika kalian merasakan adanya suara menggelegar, maka bersujudlah kalian kepada Allah dan ucapkanlah: “Mahasuci Allah Al-Quddus, Mahasuci Allah Al-Quddus, Rabb kami Al-Quddus”, kerana barangsiapa melakukan hal itu, niscaya ia akan selamat, tetapi barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, niscaya akan binasa”.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad di dalam kitab Al-Fitan I/228, No.638, dan Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi di dalam kitab Kanzul ‘Ummal, No.39627).
Derajat Hadits
Hadits ini derajatnya palsu (maudhu’), karena di dalam sanadnya terdapat beberapa perawi hadits yang pendusta dan bermasalah sebagaimana diperbincangkan oleh para ulama hadits. Para perawi tersebut ialah sebagaimana berikut ini
1. Nu’aim bin Hammad
Dia seorang perawi yang dha’if (lemah),
  • An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang dha’if (lemah)” (Lihat Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, karya An-Nasa’i I/101 no.589)
  • Abu Daud berkata: “Nu’aim bin Hammad meriwayatkan dua puluh hadits dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang tidak mempunyai dasar sanad (sumber asli, pent).”
  • Imam Al-Azdi mengatakan: “Dia termasuk orang yang memalsukan hadits dalam membela As-Sunnah, dan membuat kisah-kisah palsu tentang keburukan An-Nu’man (maksudnya, Abu Hanifah, pent), yang semuanya itu adalah kedustaan”  (Lihat Mizan Al-I’tidal karya imam Adz-Dzahabi IV/267).
  • Imam Adz-Dzahabi berkata tentangnya: “Tidak boleh bagi siapa pun berhujjah dengannya, dan ia telah menyusun kitab Al-Fitan, dan menyebutkan di dalamnya keanehan-keanehan dan kemungkaran-kemungkaran” (Lihat As-Siyar A’lam An-Nubala X/609).
2. Ibnu Lahi’ah (Abdullah bin Lahi’ah)
Dia seorang perawi yang dha’if (lemah), karena mengalami kekacauan dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar.
  • An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang dha’if (lemah)” (Lihat Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, karya An-Nasa’i I/64 no.346)
  • Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Dia mengalami kekacauan di dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar” (Lihat Taqrib At-Tahdzib I/319 no.3563).

3. Abdul Wahhab bin Husain
Dia seorang perawi yang majhul (tidak dikenal).
  • Al-Hakim berkata tentangnya: “Dia seorang perawi yang majhul (tidak jelas jati dirinya dan kredibilitasnya)” (Lihat Al-Mustadrak No. 8590)
  • Imam Adz-Dzahabi berkata di dalam At-Talkhish: “Dia mempunyai riwayat hadits palsu.” (Lihat Lisan Al-Mizan, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani II/139).
4. Muhammad bin Tsabit Al-Bunani
Dia seorang perawi yang dha’if (lemah dalam periwayatan hadits) sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Hibban dan An-Nasa’i.
  • An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang dha’if (lemah)”
  • Yahya bin Ma’in berkata: “Dia seorang perawi yang tidak ada apa-apanya”(Lihat Al-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi VI/136 no.1638).
  • Ibnu Hibban berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya, dan tidak boleh pula meriwayatkan darinya” (Lihat Al-Majruhin, karya Ibnu Hibban II/252 no.928).
  • Imam Al-Azdi berkata: “Dia seorang yang gugur riwayatnya” (Lihat Tahdzib At-Tahdzib, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani IX/72 no.104)

5. Al-Harits bin Abdullah Al-A’war Al-Hamdani.
Dia seorang perawi pendusta, sebagaimana dinyatakan oleh imam Asy-Sya’bi, Abu Hatim dan Ibnu Al-Madini.
  • An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia bukan seorang perawi yang kuat (hafalannya, pent)” (Lihat Al-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi II/186 no.370).
  • Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata tentangnya: “Imam Asy-Sya’bi telah mendustakan pendapat akalnya, dan dia juga dituduh menganut paham/madzhab Rafidhah (syi’ah), dan di dalam haditsnya terdapat suatu kelemahan” (Lihat Taqrib At-Tahdzib I/146 no.1029).
  • Ali bin Al-Madini berkata: “Dia seorang pendusta”
  • Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Dia tidak dapat dijadikan hujjah.” (Siyar A’lam An-Nubala’, karya imam Adz-Dzahabi IV/152 no.54)
Perkataan Para Ulama Tentang Hadits Ini
Al-Uqaily rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak memiliki dasar dari hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), atau dari jalan yang tsabit (kuat dan benar adanya).” (Lihat Adh-Dhu’afa Al-Kabir III/52).
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Hadits ini dipalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (Lihat Al-Maudhu’aat III/191).
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini palsu (maudhu’). Dikeluarkan oleh Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan.” Dan beliau menyebutkan beberapa riwayat dalam masalah ini dari Abu Hurairah dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhuma. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah wa Al-Maudhu’ah no.6178, 6179).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak mempunyai dasar yang benar, bahkan ini adalah hadits yang batil dan dusta” (Lihat Majmu’ Fatawa Bin Baz XXVI/339-341).
Kesimpulan
Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu). Tidak boleh diyakini sebagai kebenaran, dan tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena disamping sanad hadits ini tidak ada yg dapat diterima sebagai hujjah, juga realita telah mendustakannya. Sebab telah berlalu tahun-tahun yang banyak dan telah terjadi berulang kali hari Jum’at yang bertepatan dengan tanggal lima belas (pertengahan) bulan Ramadhan, namun kenyataannya tidak pernah terjadi sebagaimana berita yang terkandung di dalam hadits ini, Alhamdulillah.
Oleh karena itu, kita dilarang keras menyebarluaskannya kepada orang lain baik melalui media cetak, maupun elektronik, atau dalam obrolan dan khutbah kecuali dalam rangka menjelaskan sisi kelemahan, kepalsuan, dan kebatilannya, serta bertujuan untuk memperingatkan umat darinya.
Jika kita telah melakukan ini, berarti kita telah bebas dan selamat dari ancaman keras Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu berupa masuk neraka bagi siapa saja yang sengaja berdusta atas nama beliau, baik dengan tujuan menjelekkan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan ajarannya, atau dalam rangka membela Nabi dan memotivasi kaum muslimin untuk bersemangat dalam beribadah kepada Allah.
Demikian jawaban atas pertanyaan dalam masalah ini yang dapat saya sampaikan. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

larangan jual beli saat shalat jum'at

Di hari Jum’at sejak pagi hari di kota Riyadh terlihat sepi. Toko-toko dan aktivitas di pasar asalnya sunyi dari pembeli. Apalagi menjelang shalat Jum’at dilaksanakan, pintu-pintu toko akan terlihat begitu rapat.  Di kota Riyadh sendiri yang nampak di jalan-jalan saat menjelang pelaksanaan shalat Jum’at hanyalah para pekerja non muslim seperti dari India dan Filipina. Alasan mengapa di saat shalat Jum’at tidak ada aktivitas dagang, karena ada larangan jual beli kala itu.
Dalil Pendukung
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah dikumandangkannya azan Jum’at.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan jual beli ketika azan Jum’at adalah haram. Demikian pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Kapan Dimulai Larangan Jual Beli?
Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, larangan dimulai saat azan. Namun azan yang dimaksud apakah azan yang pertama ataukah kedua? Di sini ada beda pendapat.
Perlu diketahui bahwa azan kedua sebelum shalat Jum’at adalah azan yang diterapkan oleh khulafaur rasyidin. Sehingga tidak perlu diingkari. Demikian nasehat guru kami, Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah. Azan pertama di hari Jum’at ini ditambahkan di masa ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, salah seorang khulafaur rosyidin. Terdapat dalam hadits As Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ ” قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
Dahulu azan pada hari Jum’at dilakukan di awal ketika imam di mimbar. Ini dillakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Namun di masa ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu karena saking banyaknya jama’ah, beliau menambahkan azan sampai tiga kali di Zawro’.” Abu ‘Abdillah berkata, “Zawro’ adalah salah satu tempat di pasar di Madinah.” (HR. Bukhari no. 912)
Yang dimaksudkan azan sampai tiga kali di sini adalah karena di saat shalat Jum’at ada tiga kali azan. Azan pertama yang ditambahkan di masa ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu. Azan kedua adalah azan ketika khutbah. Azan ketiga adalah ketika iqomah. Iqomah disebut pula azan sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin Mughoffal Al Muzani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ
Di antara dua azan terdapat shalat (sunnah).” (HR. Bukhari no. 624 dan Muslim no. 838)
Jumhur ulama berpendapat bahwa azan mulai terlarangnya jual beli adalah azan kedua. Karena di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya ada sekali azan, yaitu saat imam duduk di mimbar. Adzan kedua inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah pada surat Jumu’ah di atas. Jika jual beli dilakukan pada saat azan kedua ini akan melalaikan para pembeli dan pedagang dari shalat, bahkan bisa sampai luput seluruh atau sebagiannya.
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/145) berkata, “Azan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah azan setelah imam duduk di mimbar. Maka hukum dikaitkan dengan azan kedua tersebut, sama saja apakah azan tersebut sebelum atau sesudah zawal (matahari tergelincir ke barat). ”
Siapa yang Tercakup dalam Larangan Jual Beli?
Yang tercakup dalam larangan jual beli di sini adalah:
Pertama: Para pria yang diwajibkan shalat Jum’at. Sedangkan wanita, anak kecil, dan orang sakit tidak terkena larangan jual beli tersebut. Demikian pendapat jumhur ulama. Alasannya, karena perintah dalam ayat ditujukan pada orang yang pergi Jum’at. Orang selain itu berati tidak terkena larangan jual beli kala itu.
Kedua: Orang yang melakukannya tahu akan larangan melakukan jual beli setelah azan kedua Jum’at. Demikian pendapat ulama Syafi’iyah.
Ketiga: Yang melakukan jual beli bukan bermaksud untuk menghilangkan mudhorot (bahaya) sehingga ia terpaksa melakukan jual beli seperti dalam keadaan darurat harus beli makanan atau dalam keadaan darurat harus beli kafan untuk mayit dan jika ditunda, kondisi mayit akan berubah.
Keempat: Jual beli dilakukan setelah azan Jum’at saat imam naik mimbar. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9/225)
Catatan: Jumhur ulama bukan hanya melarang jual beli setelah azan kedua shalat Jum’at, termasuk pula nikah dan akad lainnya yang membuat lalai dan luput dari shalat Jum’at.
Bagaimana jika yang melakukan jual beli salah satunya diwajibkan shalat Jum’at dan yang lain tidak?
Dalam Al Majmu’ (4/500), Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dua orang melakukan transaksi jual beli, salah satunya wajib shalat Jum’at dan yang lain tidak, maka kedua-duanya terkena dosa. Karena yang satu telah membuat orang lain lalai dari shalat dan yang lain lalai dari shalat Jum’at itu sendiri. Namun jual beli keduanya tidak batal. Karena larangan yang dimaksud tidak mengarah pada rusaknya akad sehingga tetap sah. Hal ini sebagaimana jika seseorang shalat di tanah rampasan (shalatnya tetap sah, namun berdosa).”
Apakah Akadnya Sah?
Sebagaimana telah disinggung oleh Imam Nawawi di atas, jual beli yang dilakukan setelah azan kedua shalat Jum’at tetap sah, namun berdosa. Alasannya, karena larangan yang dimaksud bukan tertuju pada akad, namun di luar akad, sehingga tetap sah.
Az Zamaksyari dalam Al Kasyaf (7/61) menyebutkan, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa jual beli (setelah azan kedua Jum’at) tidaklah diharamkan (karena akadnya). Akad tersebut diharamkan karena dapat melalaikan dari yang wajib. Statusnya sama dengan shalat seseorang di tanah rampasan, dengan baju rampusan atau dengan air rampasan (artinya: shalatnya tetap sah, namun berdosa).”
Lanjutkan Jual Beli Setelah Shalat
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10)
Ada riwayat dari sebagian salaf, ia berkata,
من باع واشترى في يوم الجمعة بعد الصلاة، بارك الله له سبعين مرة، لقول الله تعالى: { فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ }
“Barangsiapa melakukan jual beli setelah shalat Jum’at, maka semoga Allah memberikan ia keberkahan sebanyak 70 kali. Alasannya karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ” Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 13: 563)
Az Zamaksyari dalam Al Kasyaf (7/61) berkata pula,
بادروا تجارة الآخرة ، واتركوا تجارة الدنيا ، واسعوا إلى ذكر الله الذي لا شيء أنفع منه وأربح { وَذَرُواْ البيع } الذي نفعه يسير وربحه مقارب
Berlomba-lombalah meraih (pahala) perniagaan akhirat dan tinggalkanlah perniagaan dunia. Bersegeralah mengingat Allah yang tidak ada sesuatu pun yang lebih bermanfaat dan lebih beruntung dibanding aktivitas ibadah tersebut. Tinggalkanlah jual beli yang manfaat dan untungnya jika dibanding hanyalah sedikit.” Di balik perintah dan larangan Allah, pasti ada hikmah. Percayalah, keuntungan di akhirat tentu lebih besar. Banyaklah berzikir dan mengingat Allah, jangan sampai aktivitas duniamu membuat engkau lalai dari mengingat-Nya.
قال مجاهد: لا يكون العبد من الذاكرين الله كثيرا، حتى يذكر الله قائما وقاعدا ومضطجعا.
Mujahid berkata, “Seorang hamba tidaklah termasuk orang yang banyak berzikir pada Allah sampai ia berzikir pada-Nya dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13/564)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

syarat sah sholat jum'at

Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Shalat Jum’at sudah kita ketahui bersama adalah suatu kewajiban.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah ...” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Shalat ini diwajibkan bagi: (1) orang yang mukim (bukan musafir), (2) pria, (3) sehat, (4) merdeka dan (5) selamat dari lumpuh (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 198-199).
Pelaksanaan shalat Jum’at bisa menjadi sah jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pertama: Adanya khutbah
Khutbah jum’at mesti dengan dua kali khutbah karena kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian adanya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa khutbah Jum’at bisa sah jika memenuhi lima syarat:
  1. Ucapan puji syukur pada Allah
  2. Shalawat kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
  3. Wasiat takwa [tiga syarat pertama merupakan syarat dalam dua khutbah sekaligus]
  4. Membaca satu dari ayat Al Qur’an pada salah satu dari dua khutbah
  5. Do’a kepada kaum muslimin di khutbah kedua
Namun sebenarnya khutbah yang dituntunkan adalah yang sesuai petunuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya berisi nasehat motivasi dan menjelaskan ancaman-ancaman terhadap suatu maksiat. Inilah hakekat khutbah. Jadi syarat di atas bukanlah syarat yang melazimkan (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 583)
Kedua: Harus dilakukan dengan berjama’ah
Dipersyaratkan demikian karena shalat Jum’at bermakna banyak orang (jama’ah). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menunaikan shalat ini secara berjama’ah, bahkan hal ini menjadi ijma’ (kata sepakat) para ulama.
Ulama Syafi’iyah dan Hambali memberi syarat 40 orang bisa disebut jama’ah Jum’at. Akan tetapi, menyatakan demikian harus ada dalil pendukung. Kenyataannya tidak ada dalil –sejauh yang kami ketahui- yang mendukung syarat ini. Sehingga syarat disebut jama’ah jum’at adalah seperti halnya jama’ah shalat lainnya, yaitu satu orang jama’ah dan satu orang imam (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 593). Yang menyaratkan shalat Jum’at bisa dengan hanya seorang makmum dan seorang imam adalah ulama Hanafiyah (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 202).
Ketiga: Mendapat izin khalayak ramai yang menyebabkan shalat jum’at masyhur atau tersiar.
Sehinga jika ada seorang yang shalat di benteng atau istananya, ia menutup pintu-pintunya dan melaksanakan shalat bersama anak buahnya, maka shalat Jum’atnya tidak sah. Dalil dari hal ini adalah karena diperintahkan adanya panggilan untuk shalat Jum’at sebagaimana dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah ...” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Panggilan ini menunjukkan shalat Jum’at harus tersiar, tidak sembunyi-sembunyi meskipun dengan berjama’ah.
Keempat: Jama’ah shalat Jum’at tidak lebih dari satu di satu negeri (kampung)
Karena hikmah disyariatkan shalat Jum’at adalah agar kaum muslimin berkumpul dan saling berjumpa. Hal ini sulit tercapai jika beberapa jama’ah shalat Jum’at di suatu negeri tanpa ada hajat. Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pendapat masyhur di kalangan madzhab Imam Malik, menyatakan bahwa terlarang berbilangnya jamaah shalat jumat di suatu negeri (kampung) besar atau kecil kecuali jika ada hajat. Namun para ulama berselisih pendapat tentang batasan negeri tersebut. Ada ulama yang menyatakan batasannya adalah jika suatu negeri terpisah oleh sungai, atau negeri tersebut merupakan negeri yang besar sehingga sulit membuat satu jamaah jum’at.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Walhamdulillahi Robbil ‘alamin.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
[Disarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 201-204]
@ Ummul Hamam (Riyadh-KSA), di waktu penuh barokah, 12 Shofar 1433 H

ingat mati

Bagi yang masih hidup perbanyaklah mengingat mati ….. karena ……
Pertama, Mengingat mati adalah ibadah yang sangat dianjurkan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ ». يَعْنِى الْمَوْتَ.
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan”, yaitu kematian”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Tirmidzi).
Kedua, Maut kapan saja bisa menghampiri dan tidak akan pernah keliru dalam hitungannya, maka jauhilah perbuatan dosa dari kesyirikan, bid’ah dan maksiat lainnya.
{وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ}
Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf: 34).
{وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا} [المنافقون : 11]
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila. datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Munafiqun: 11).
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,  “Renungkanlah wahai manusia, (sebenarnya) kamu akan dapati dirimu dalam bahaya, karena kematian tidak ada batas waktu yang kita ketahui, terkadang seorang manusia keluar dari rumahnya dan tidak kembali kepadanya (karena mati), terkadang manusia duduk di atas kursi kantornya dan tidak bisa bangun lagi (karena mati), terkadang seorang manusia tidur di atas kasurnya, akan tetapi dia malah dibawa dari kasurnya ke tempat pemandian mayatnya (karena mati). Hal ini merupakan sebuah perkara yang mewajibkan kita untuk menggunakan sebaiknya kesempatan umur, dengan taubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan sudah sepantasnya manusia selalu merasa dirinya bertaubat, kembali, menghadap kepada Allah, sehingga datang ajalnya dan dia dalam sebaik-baiknya keadaan yang diinginkan.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474).
Ketiga, Maut tidak ada yang mengetahui kapan datangnya melainkan Allah Ta’ala semata, tetapi dia pasti mendatangi setiap yang bernyawa, maka jauhilah hal-hal yang tidak bermanfaat selama hidup.
( كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ) [آل عمران : 185]
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari. kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185).
(إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ) [لقمان: 34 ]
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34).
Keempat, Siapa yang mati mulai saat itulah kiamatnya, tidak ada lagi waktu untuk beramal.
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ كَانَ الأَعْرَابُ إِذَا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَأَلُوهُ عَنِ السَّاعَةِ مَتَى السَّاعَةُ فَنَظَرَ إِلَى أَحْدَثِ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ فَقَالَ «إِنْ يَعِشْ هَذَا لَمْ يُدْرِكْهُ الْهَرَمُ قَامَتْ عَلَيْكُمْ سَاعَتُكُمْ»
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Orang-orang kampung Arab jika datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka bertanya tentang hari kiamat, kapan datangnya, lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melihat kepada seorang yang paling muda dari mereka, kemudian beliau bersabda: “Jika hidup pemuda ini dan tidak mendapati kematian, maka mulai saat itulah kiamat kalian datang.” (HR. Muslim).
المغيرة بن شعبة رضي الله عنه: أيها الناس إنكم تقولون: القيامة، القيامة؛ فإن من مات قامت قيامته.
Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian mengucapkan: “Kiamat, kiamat…maka ketahuilah, siapa yang mati mulai saat itulah dibangkitkan kiamat dia.” (Lihat kitab Al Mustadrak ‘Ala majmu’ al Fatawa, 1/88).
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang demikian itu, karena seorang manusia jika mati, maka dia masuk ke dalam hari kiamat, oleh sebab itulah dikatakan: ‘Siapa yang mati mulailah kiamatnya, setiap apa yang ada sesudah kematian, maka sesungguhnya hal itu termasuk dari hari akhir. Jadi, alangkah dekatnya hari kiamat bagi kita, tidak ada jaraknya antara kita dengannya, melainkan ketika sesesorang mati, kemudian dia masuk ke kehidupan akhirat, tidak ada di dalamnya kecuali balasan atas amal perbuatan. Oleh sebab inilah, harus bagi kita untuk memperhatikan poin penting ini.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474).
Kelima, Dengan mengingat mati melapangkan dada, menambah ketinggian frekuensi ibadah
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أكثروا ذكر هاذم اللذات: الموت، فإنه لم يذكره في ضيق من العيش إلا وسعه عليه، ولا ذكره في سعة إلا ضيقها”
Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutuskan kelezatan, yaitu kematian, karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan kesempitan hidup, melainkan dia akan melapangkannya, dan tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan lapang, melainkan dia akan menyempitkannya.” HR. Ibnu HIbban dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’.
Ad Daqqaq rahimahullah berkata,
“من أكثر ذكر الموت أكرم بثلاثة: تعجيل التوبة، وقناعة القلب، ونشاط العبادة، ومن نسى الموت عوجل بثلاثة: تسويف التوبة، وترك الرضا بالكفاف، والتكاسل في العبادة”  تذكرة القرطبي : ص 9
Artinya: “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian maka dimuliakan dengan tiga hal: “Bersegera taubat, puas hati dan semangat ibadah, dan barangsiapa yang lupa kematian diberikan hukuman dengan tiga hal; menunda taubat, tidak ridha dengan keadaan dan malas ibadah” (Lihat kitab At Tadzkirah fi Ahwal Al Mauta wa Umur Al Akhirah, karya Al Qurthuby).
Keenam, Dengan mengingat mati seseorang akan menjadi mukmin yang cerdas berakal, mari perhatikan riwayat berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ: «أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ: «أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ»
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bercerita: “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang seorang lelaki dari kaum Anshar mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, orang beriman manakah yang paling terbaik?”, beliau menjawab: “Yang paling baik akhlaknya”, orang ini bertanya lagi: “Lalu orang beriman manakah yang paling berakal (cerdas)?”, beliau menjawab: “Yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah yang berakal”. (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Ibnu Majah).
Ketujuh, Hari ini yang ada hanya beramal tidak hitungan, besok sebaliknya.
Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ.
Artinya: “Dunia sudah pergi meninggalkan, dan akhirat datang menghampiri, dan setiap dari keduanya ada pengekornya, maka jadilah kalian dari orang-orang yang mendambakan kehidupan akhirat dan jangan kalian menjadi orang-orang yang mendambakan dunia, karena sesungguhnya hari ini (di dunia) yang ada hanya amal perbuatan dan tidak ada hitungan dan besok (di akhirat) yang ada hanya hitungan tidak ada amal.” (Lihat kitab Shahih Bukhari).

taruhan dan judi dalam lomba

Asal perlombaan adalah dibolehkan. Hal ini dibuktikan dalam beberapa hadits dan juga klaim ijma’ (kesepakatan para ulama). Apalagi jika lomba tersebut sebagai persiapan untuk jihad seperti lomba memanah atau pacuan kuda, para ulama sepakat akan sunnahnya, bahkan hal ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka. Bahkan kadangkala hukum melakukan lomba memanah dan pacuan kuda bisa jadi wajib (fardhu kifayah) di kala diwajibkannya jihad.
Mengenai persiapan jihad, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat” (QS. Al Anfal: 60). Yang dimaksud dengan kekuatan apa saja, ditafsirkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memanah (HR. Muslim no. 1917).
Namun perlu dipahami bahwa perlombaan atau musabaqah itu ada dua macam: dengan taruhan dan tanpa taruhan.
Perlombaan Tanpa Taruhan
Hukum asalnya boleh berlomba tanpa taruhan seperti lomba lari, perahu, balapan burung, keledai, gajah dan lomba tombak. Pendapat jumhur (mayoritas ulama) membolehkan setiap perlombaan yang tanpa taruhan secara mutlak.
Ibnu ‘Abidin –salah seorang ulama Hanafiyah- berkata,
وَأَمَّا السِّبَاقُ بِلَا جُعْلٍ فَيَجُوزُ فِي كُلِّ شَيْءٍ
“Adapun perlombaan tanpa taruhan, itu boleh dalam berbagai macam bentuknya.” (Raddul Muhtar, 27: 20, Asy Syamilah)
Ibnu Qudamah –ulama Hambali- berkata,
وَالْمُسَابَقَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ ؛ مُسَابَقَةٌ بِغَيْرِ عِوَضٍ ، وَمُسَابَقَةٌ بِعِوَضٍ . فَأَمَّا الْمُسَابَقَةُ بِغَيْرِ عِوَضٍ ، فَتَجُوزُ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ تَقْيِيدٍ بِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ
“Perlombaan itu ada dua macam: perlombaan tanpa taruhan dan dengan taruhan. Adapun perlombaan tanpa taruhan, itu boleh secara mutlak tanpa ada pengkhususan ada yang terlarang.” (Al Mughni, 11: 29)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (15: 79) disebutkan,
فإن كانت المسابقة بغير جعل فتجوز من غير تقييد بشيء معيّن
“Jika musabaqah (perlombaan) dilakukan tanpa adanya taruhan, itu boleh pada setiap bola tanpa pengkhususan.”
Dalil dari penjelasan di atas adalah hadits dari ‘Aisyah di mana ia pernah berlomba lari bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adanya taruhan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan bahwa,
أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».
Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Penjelasan di atas adalah pendapat jumhur atau mayoritas ulama. Ulama Hanafiyah memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Mereka memberi syarat lomba yang dibolehkan hanyalah pada empat lomba, yaitu lomba pacuan kuda, pacuan unta dan memanah, ditambah lomba lari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Huraihah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Mengenai dalil bolehnya lomba lari diambil dari hadits ‘Aisyah yang telah disebutkan. Artinya, perlombaan selain empat lomba yang telah disebutkan asalnya adalah haram menurut ulama Hanafiyah. Dikeluarkan dari haram karena ada dalil pengecualian.
Perlombaan dengan Taruhan
Perlombaan dengan taruhan asalnya masih dibolehkan. Namun yang dibolehkan di sini adalah khusus pada lomba tertentu, tidak untuk setiap lomba. Jumhur berpendapat tidak bolehnya lomba dengan taruhan selain pada lomba memanah, pacuan kuda, dan pacuan unta. Demikian pula dikatakan oleh Az Zuhri.
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lomba hanya boleh dalam empat hal, yaitu lomba pacuan kuda, pacuan unta, memanah dan lomba lari sebagaimana keterangan di atas.
Ulama Syafi’iyah meluaskan lagi perlombaan yang dibolehkan dengan taruhan pada setiap lomba yang nanti berperan serta dalam jihad. Adapun lomba adu ayam, burung, dan domba tidaklah termasuk dalam hal ini dan jelas tidak dibolehkan karena bukan termasuk sarana untuk jihad (Disarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah). Imam Nawawi dalam Minhajul Thalibin berkata, “Segala lomba yang mendukung peperangan (jihad) dibolehkan dengan taruhan.”
Termasuk pula lomba yang dibolehkan dengan taruhan adalah lomba hafalan Qur’an dan lomba ilmiah dalam agama.
Ibnul Qayyim rahimahullah ditanya, “Apakah boleh melakukan perlombaan menghafal Al Qur’an, hadits, fikih dan ilmu yang bermanfaat lainnya yang ditentukan manakah yang benar manakah yang salah dan perlombaan tersebut menggunakan taruhan?”
Kata Ibnul Qayyim, “Pengikut Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i melarang hal tersebut. Sedangkan ulama Hanafiyah membolehkannya. Guru kami, begitu pula Ibnu ‘Abdil Barr dari ulama Syafi’iyah membolehkan hal ini. Perlombaan menghafal Qur’an tentu saja lebih utama dari lomba berburu, bergulat, dan renang. Jika perlombaan-perlombaan tadi dibolehkan, maka tentu saja perlombaan menghafal Al Qur’an (dengan taruhan) lebih utama untuk dikatakan boleh.” (Al Furusiyah, Ibnul Qayyim, hal. 318)
Ibnul Qayyim di tempat lain berkata, “Jika taruhan dibolehkan dalam memanah, pacuan kuda dan pacuan kita karena terdapat dorongan untuk belajar pacuan dan sebagai persiapan untuk jihad, maka tentu saja lomba dalam hal ilmu diin (agama) dan penyampaian hujjah padahal dengan itu akan membuka hati dan memuliakan Islam, maka itu lebih layak dibolehkan.” (Al Furusiyah, Ibnul Qayyim, hal. 97)
Bentuk Taruhan
Untuk lomba yang dibolehkan dengan taruhan seperti yang disebutkan sebelumnya, ada syarat taruhan yang perlu diperhatikan, yaitu:
  1. Taruhan harus jelas dalam hal jumlah dan sifat (ciri-ciri).
  2. Boleh taruhan dibayarkan saat lomba atau boleh sebagiannya ditunda (dicicil).
  3. Taruhan tersebut bisa jadi ditarik dari salah satu peserta dari dua peserta yang ikut lomba. Salah satunya mengatakan, “Jika engkau mengalahkan saya dalam lomba memanah, maka saya berkewajiban memberimu Rp.100.000”. Ini dibolehkan dan tidak ada khilaf di antara para ulama dalam pembolehan bentuk taruhan semacam ini. Namun ingat sekali lagi bentuk ini berlaku antara dua orang atau dua kelompok.
  4. Taruhan tersebut bisa pula ditarik dari pihak lain semisal dari imam yang diambil dari kas Negara (baitul maal). Karena lomba semacam ini jelas manfaatnya dan turut membantu dalam pembelajaran jihad sehingga bermanfaat luas bagi orang banyak.
Bisa pula taruhan tersebut berasal dari iuran peserta (yang lebih dari dua peserta), seperti masing-masing misalnya menyetorkan iuran awal sebesar Rp.100.000 dan hadiah untuk pemenang akan ditarik dari iuran tersebut. Bentuk ketiga ini disebut rihan (taruhan). Jumhur ulama tidak membolehkan taruhan semacam ini karena ada pihak yang rugi dan ada yang beruntung. [Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24: 128-129]
Taruhan yang Berbau Judi
Perlombaan selain yang disebutkan di atas seperti perlombaan bola, balapan motor, perlombaan catur yang menggunakan taruhan dengan dipungut dari iuran peserta, ini jelas terlarang karena bukan bertujuan untuk menegakkan agama Allah atau jalan melatih untuk berjihad. Bahkan perlombaan semacam itu termasuk dalam bentuk perjudian yang jelas haramnya. Jelaslah bagaimana bentuk perjudian saat ini yang dikemas dengan berbagai trik. Seperti lomba voli yang diikuti peserta dengan syarat setiap peserta membayar uang pendaftaran Rp.100.000 lalu hadiahnya dipungut dari uang pendaftaran tersebut, ini jelas masuk dalam judi.
Sedangkan taruhan yang dilakukan di antara sesama penonton (misal dari para penonton pacuan kuda atau memanah), tidak dibolehkan dalam perlombaan yang masuk kategori boleh dengan taruhan. Karena yang boleh memakai taruhan di sini adalah sesama para peserta sebagaimana penjelasan di atas.
Bahaya Judi
Hati-hatilah dengan judi, wahai saudaraku! Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)
Lihatlah permusuhan sesama muslim bisa muncul akibat judi. Judi pun benar-benar telah memalingkan dari dzikrullah. Sadarilah!
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Maidah: 91)
Bahkan judi itu lebih berbahaya dari riba. Sebagaimana Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
إنّ مفسدة الميسر أعظم من مفسدة الرّبا لأنّه يشتمل على مفسدتين : مفسدة أكل المال بالحرام , ومفسدة اللّهو الحرام , إذ يصد عن ذكر اللّه وعن الصّلاة ويوقع في العداوة والبغضاء , ولهذا حرّم الميسر قبل تحريم الرّبا .
“Kerusakan maysir (di antara bentuk maysir adalah judi) lebih berbahaya dari riba. Karena maysir memiliki dua kerusakan: (1) memakan harta haram, (2) terjerumus dalam permainan yang terlarang. Maysir benar-benar telah memalingkan seseorang dari dzikrullah, dari shalat, juga mudah timbul permusuhan dan saling benci. Oleh karena itu, maysir diharamkan sebelum riba.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39: 406)
Maysir yang disebutkan dalam ayat di atas sebenarnya lebih umum dari judi. Kata Imam Malik rahimahullah,Maysir ada dua macam: (1)  bentuk permainan seperti dadu, catur dan berbagai bentuk permainan yang melalaikan, dan (2) bentuk perjudian, yaitu yang mengandung unsur spekulasi atau untung-untungan di dalamnya.” Bahkan Al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr memberikan jawaban lebih umum ketika ditanya mengenai apa itu maysir. Jawaban beliau, “Setiap yang melalaikan dari dzikrullah (mengingat Allah) dan dari shalat, itulah yang disebut maysir.” (Dinukil dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 39: 406). Dari penjelasan Imam Malik menunjukkan ada permainan yang terlarang yaitu catur dan dadu. Dua permainan ini disebut maysir.
Demikian bahasan kami seputar hukum taruhan. Moga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

yaumul mizan

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari kiamat.
Mizan atau timbangan adalah alat untuk mengukur sesuatu berdasarkan berat dan ringan. Adapun mizan di akherat adalah sesuatu yang Allah letakkan pada hari Kiamat untuk menimbang amalan hamba-Nya. (Syarah Lum’atul I’tiqaad, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal. 120)
Mizan di hari Kiamat adalah sesuatu yang hakiki dan benar-benar ada. Hanya Allah Ta’ala yang mengetahui seberapa besar ukurannya. Seandainya langit dan bumi diletakkan dalam daun timbangannya, niscaya mizan tersebut akan tetap lapang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُوْضَعُ الْمِيْزَانُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَلَوْ وُزِنَ فِيْهِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ لَوَسِعَتْ، فَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ: يَا رَبِّ! لِمَنْ يَزِنُ هَذَا؟ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: لِمَنْ شِئْتُ مِنْ خَلْقِيْ، فَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ: سُبْحَانَكَ مَا عَبَدْنَاكَ حَقَّ عِبَادَتِكَ.
“Pada hari Kiamat, mizan akan ditegakkan. Andaikan ia digunakan untuk menimbang langit dan bumi, niscaya ia akan tetap lapang. Maka Malaikat pun berkata, “Wahai Rabb-ku, untuk siapa timbangan ini?” Allah berfirman: “Untuk siapa saja dari hamba-hamba-Ku.” Maka Malaikat berkata, “Maha suci Engkau, tidaklah kami dapat beribadah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dan dinilai shohih oleh al-Albani dalam Silsilah As-Silsilah Ash-Shohihah, no. 941).
Kaum muslimin rahimakumullah, mizan ini sangat akurat dalam menimbang, tidak lebih dan tidak kurang sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman:
وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِيْنَ (47)
“Dan Kami akan tegakkan timbangan yang adil pada hari Kiamat, sehingga tidak seorang pun yang dirugikan walaupun sedikit. Jika amalan itu hanya seberat biji sawipun, pasti Kami akan mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya’: 47)
Mizan ini memiliki dua daun timbangan sebagaimana diceritakan dalam hadits tentang kartu (bithoqoh) yang akan kami sampaikan haditsnya nanti. Lalu, apakah yang ditimbang di hari Kiamat kelak? Para ulama kita berbeda pendapat tentang apa yang ditimbang di hari Kiamat. Ada tiga pendapat dalam masalah ini.
Pendapat Pertama, Yang Ditimbang Adalah Amal
Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيْلَتَانِ فِي الْمِيْزَانِ، حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ
“Ada dua kalimat yang ringan diucapkan oleh lisan, tetapi berat dalam timbangan (pada hari Kiamat), dan dicintai oleh ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih): Subhaanallohi wa bihamdihi dan Subhanallohil ‘Azhim.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6406, 6682, dan Muslim, 2694).
Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Hajar al-Ashqolani rahimahullah. Beliau berpendapat bahwa yang ditimbang adalah amal, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ شَيْءٍ فِي الْمِيْزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat ketika ditimbang (di hari Kiamat) daripada akhlak yang mulia.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad, no. 270 dan dinilai shohih oleh al-Albani dalam Shahiih al-Adab al-Mufrad, no. 204)
Kedua, Yang Ditimbang Adalah Orangnya
Ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah orangnya. Berat atau ringannya timbangan tergantung pada keimanannya, bukan berdasarkan ukuran tubuh, berat badannya, atau banyaknya daging yang ada di tubuh mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيْمُ السَّمِيْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ
“Sesungguhnya pada hari Kiamat nanti ada seorang laki-laki yang besar dan gemuk, tetapi ketika ditimbang di sisi Allah, tidak sampai seberat sayap nyamuk.”  Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Bacalah..
فَلاَ نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (105)
“Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105). (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4729 dan Muslim, no. 2785)
‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat betisnya kecil. Tatkala ia mengambil ranting pohon untuk siwak, tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang dan menyingkap pakaiannya, sehingga terlihatlah kedua telapak kaki dan betisnya yang kecil. Para sahabat yang melihatnya pun tertawa. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang sedang kalian tertawakan?” Para sahabat menjawab, “Kedua betisnya yang kecil, wahai Nabiyullah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ أُحُدٍ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kedua betisnya itu di mizan nanti lebih berat dari pada gunung uhud.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, I/420-421 dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir, IX/75. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shohihah, no. 3192).
Pendapat Ketiga, Yang Ditimbang Adalah Lembaran Catatan Amal
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari Kiamat dimana ketika itu dibentangkan 99 gulungan catatan (dosa) miliknya. Setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang, kemudian Allah berfirman: ‘Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini? Apakah para (Malaikat) pencatat amal telah menganiayamu?,’ Dia menjawab: ‘Tidak wahai Rabbku,’ Allah bertanya: ‘Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?,’ Dia menjawab: ‘Tidak Wahai Rabbku.’ Allah berfirman: “Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikitpun. Kemudian dikeluarkanlah sebuah kartu (bithoqoh) yang di dalamnya terdapat kalimat:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Lalu Allah berfirman: ‘Hadirkan timbanganmu.’ Dia berkata: ‘Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh gulungan (dosa) itu?,’ Allah berfirman: ‘Sungguh kamu tidak akan dianiaya.’ Kemudian diletakkanlah gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka gulungan-gulungan (dosa) tersebut terangkat dan kartu (laa ilaaha illallah) lebih berat. Demikianlah tidak ada satu pun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat Nama Allah.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2639, Ibnu Majah, no. 4300, Al-Hakim, 1/6, 529, dan Ahmad, no. II/213. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam Silsilah Ahaadiits ash-Shahiihah, no. 135)
Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh al-Qurthubi. Beliau mengatakan, “Yang benar, mizan menimbang berat atau ringannya buku-buku yang berisikan catatan amal…” (At-Tadzkirah, hal. 313)
Kesimpulan
Tiga pendapat di atas tidak saling bertentangan satu sama lain. Sebagian orang ada yang ditimbang amalnya, sebagian yang lain ditimbang buku catatannya, dan sebagian yang lain ditimbang dirinya.
Syaikh Muhammad bin sholih al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa secara umum yang ditimbang adalah amal perbuatannya, karena kebanyakan dalil-dalil menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah amal perbuatan. Adapun timbangan buku catatan amal dan pelakunya, maka itu khusus untuk sebagian orang saja. (Syarah al-’Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 390)
Apa yang disampaikan oleh syaikh ‘Utsaimin inilah yang nampaknya lebih menentramkan hati. Wallahu Ta’ala a’lam. Semoga sedikit sajian yang kami sampaikan ini bisa menjadi pendorong bagi kita untuk beramal sholih. Dan sekecil apapun amalan yang kita lakukan, tidak akan disia-siakan walaupun sebesar semut kecil. Dan di hari Kiamat kelak, setiap manusia pasti akan melihat  setiap amal yang telah dia usahakan di dunia ini.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Allah Ta’ala menutup umur kita dengan kebaikan dan keselamatan. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

permusuhan yahudi terhadap islam dalam sejarah

Permusuhan Yahudi terhadap Islam sudah terkenal dan ada sejak dahulu kala. Dimulai sejak dakwah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan mungkin juga sebelumnya bahkan sebelum kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan karena khawatir dari pengaruh dakwah islam yang akan menghancurkan impian dan rencana mereka. Namun dewasa ini banyak usaha menciptakan opini bahwa permusuhan yahudi dan islam hanyalah sekedar perebutan tanah dan perbatasan Palestina dan wilayah sekitarnya, bukan permasalahan agama dan sejarah kelam permusuhan yang mengakar dalam diri mereka terhadap agama yang mulia ini.
Padahal pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengkataan perbatasan. Musuh-musuh islam dan para pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakekat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana) hidup berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah dan mendirikan sebuah Negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi Negara zionis. Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama semenjak berdirinya Negara islam diMadinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi alam semesta yaitu Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam
Demikianlah permusuhan dan usaha mereka merusak Islam sejak berdirinya Negara islam bahkan sejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah sampai saat ini dan akan berlanjut terus. Walaupun tidak tertutup kemungkinan mereka punya usaha dan upaya memberantas islam sejak kelahiran beliau n . hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pendeta Buhairoh terhadap Abu Thalib dalam perjalanan dagang bersama beliau diwaktu kecil. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuhan Yahudi dalam firmanNya:
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Qs. 5:82)
Melihat demikian panjangnya sejarah dan banyaknya bentuk permusuhan Yahudi terhadap Islam dan Negara Islam, maka kami ringkas dalam 3 marhalah;
Marhalah pertama:
Upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa awal perkembangan dakwah islam dan cara mereka dalam hal ini.
Diantara upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa-masa awal perkembangannya adalah:
  1. Pemboikotan (embargo) Ekonomi: Kaum muslimin ketika awal perkembangan islam di Madinah sangat lemah perekonomiannya. Kaum muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta mereka dan kaum Anshor yang menolong mereka pun bukanlah pemegang perekonomian Madinah. Oleh karena itu Yahudi menggunakan kesempatan ini untuk menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka dan melakukan embargo ekonomi. Para pemimpin Yahudi enggan membantu perekonomian kaum muslimin dan ini terjadi ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar menemui para pemimpin Yahudi untuk meminjam dari mereka harta yang digunakan untuk membantu urusan beliau dan berwasiat untuk tidak berkata kasar dan tidak menyakiti mereka bila mereka tidak memberinya. Ketika Abu Bakar masuk Bait Al Midras (tempat ibadah mereka) mendapati mereka sedang berkumpul dipimpin oleh Fanhaash –tokoh besar bani Qainuqa’- yang merupakan salah satu ulama besar mereka didampingi seorang pendeta yahudi bernama Asy-ya’. Setelah Abu Bakar menyampaikan apa yang dibawanya dan memberikan surat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepadanya. Maka ia membaca sampai habis dan berkata: Robb kalian butuh kami bantu! Tidak hanya sampai disini saja, bahkan merekapun enggan menunaikan kewajiban yang harus mereka bayar, seperti hutang, jual beli dan amanah kepada kaum muslimin. Berdalih bahwa hutang, jual beli dan amanah tersebut adanya sebelum islam dan masuknya mereka dalam islam menghapus itu semua. Oleh karena itu Allah berfirman:Di antara Ahli Kitab ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaranmereka mengatakan:”Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Qs. 3:75)
  2. Membangkitkan fitnah dan kebencian: Yahudi dalam upaya menghalangi dakwah islam menggunakan upaya menciptakan fitnah dan kebencian antar sesama kaum muslimin yang pernah ada di hati penduduk Madinah dari Aus dan Khodzraj pada masa jahiliyah. Sebagian orang yang baru masuk islam menerima ajakan Yahudi, namun dapat dipadamkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam . diantaranya adalah kisah yang dibawakan Ibnu Hisyam dalam Siroh Ibnu Hisyam (2/588) ringkas kisahnya: Seorang Yahudi bernama Syaas bin Qais mengutus seorang pemuda Yahudi untuk duduk dan bermajlis bareng dengan kaum Anshor, kemudian mengingatkan mereka tentang kejadian perang Bu’ats hingga terjadi pertengkaran dan mereka keluar membawa senjata-senjata masing-masing. Lalu hal ini sampai pada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. maka beliau shallallahu ’alaihi wa sallam segera berangkat bersama para sahabat muhajirin menemui mereka dan bersabda:يَا مَعْشَر المُسْلِمِيْنَ اللهَ اللهَ أَبِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ بَعْدَ أَنْ هَدَاكُمُ اللهُ لِلإِسْلاَمِ وَ أَكْرَمَكُمْ بِهِ وَ قَطَعَ بِهِ أَمْرَ الْجَاهِلِيَّةِ وَاسْتَنْقَذَكُمْ بِهِ مِنَ الْكُفْرِ وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ “Wahai kaum muslimin alangkah keterlaluannya kalian, apakah (kalian mengangkat) dakwah jahiliyah padahal aku ada diantara kalian setelah Allah tunjuki kalian kepada Islam dan muliakan kalian, memutus perkara Jahiliyah dan menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam serta menyatukan hati-hati kalian.” Lalu mereka sadar ini adalah godaan syetan dan tipu daya musuh mereka, sehingga mereka mengangis dan saling rangkul antara Aus dan Khodzroj. Lalu mereka pergi bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dengan patuh dan taat yang penuh. Lalu Allah turunkan firmanNya: Katakanlah: ”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan. Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan.” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. 3:99)
  3. Menyebarkan keraguan pada diri kaum muslimin: Orang Yahudi berusaha memasukkan keraguan di hati kaum muslimin yang masih lemah imannya dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dapat menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya: Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu’min) kembali (kepada kekafiran). (Qs. 3:72). Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan pernyataan: Ini adalah tipu daya yang mereka inginkan untuk merancukan perkara agama islam kepada orang-orang yang lemah imannya. Mereka sepakat menampakkan keimanan di pagi hari (permulaan siang) dan sholat subuh bersama kaum muslimin. Lalu ketika diakhir siang hari (sore hari) mereka murtad dari agama Islam agar orang-orang bodoh menyatakan bahwa mereka keluat tidak lain karena adanya kekurangan dan aib dalam agama kaum muslimin.
  4. Memata-matai kaum Muslimin: Ibnu Hisyam menjelaskan adanya sejumlah orang Yahudi yang memeluk Islam untuk memata-matai kaum muslimin dan menukilkan berita Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan yang ingin beliau lakukan kepada orang Yahudi dan kaum musyrikin, diantaranya: Sa’ad bin Hanief, Zaid bin Al Lishthi, Nu’maan bin Aufa bin Amru dan Utsmaan bin Aufa serta Rafi’ bin Huraimila’. Untuk menghancurkan tipu daya ini Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):”Marilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Qs. 3:118-119)
  5. Usaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: Orang Yahudi tidak pernah henti berusaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, diantaranya adalah kisah yang disampaikan Ibnu Ishaaq bahwa beliau berkata: Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, Abdullah bin Shurie dan Syaas bin Qais saling berembuk dan menghasilkan keputusan berangkat menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk memfitnah agama beliau. Lalu mereka menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata: Wahai Muhammad engkau telah tahu kami adalah ulama dan tokoh terhormat serta pemimpin besar Yahudi, Apabila kami mengikutimu maka seluruh Yahudi akan ikut dan tidak akan menyelisihi kami. Sungguh antara kami dan sebagian kaum kami terjadi persengketaan. Apakah boleh kami berhukum kepadamu lalu engkau adili dengan memenangkan kami atas mereka? Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam enggan menerimanya. Lalu turunlah firman Allah: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Qs. 5:49)
Semua usaha mereka ini gagal total dihadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan Allah membalas makar mereka ini dengan menimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan.
Marhalah kedua:
Masa perang senjata antara Yahudi dan Muslimin di zaman Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi tidak cukup hanya membuat keonaran dan fitnah kepada kaum muslimin semata bahkan merekapun menampakkan diri bergabung dengan kaum musyrikin dengan menyatakan permusuhan yang terang-terangan terhadap islam dan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tetap menunggu sampai mereka melanggar dan membatalkan perjanjian yang pernah dibuat diMadinah. Ketika mereka melanggar perjanjian tersebut barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan tindakan militer untuk menghadapi mereka dan mengambil beberapa keputusan untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Diantara keputusan penting tersebut adalah:
  1. Pengusiran Bani Qainuqa’
  2. Pengusiran bani Al Nadhir
  3. Perang Bani Quraidzoh
  4. Penaklukan kota Khaibar
Setelah terjadinya hal tersebut maka orang Yahudi terusir dari jazirah Arab.
Marhalah ketiga:
Tipu daya dan makar mereka terhadap islam setelah wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi memandang tidak mungkin melawan Islam dan kaum muslimin selama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam wafat, orang Yahudi melihat adanya kesempatan untuk membuat makar kembali terhadap Islam dan muslimin. Mereka mulai merencanakan dan menjalankan tipu daya mereka untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya. Namun tentunya mereka lakukan dengan lebih baik dan teliti dibanding sebelumnya. Sebagian target mereka telah terwujud dengan beberapa sebab diantaranya:
  1. Kaum muslimin kehilangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
  2. Orang Yahudi dapat mengambil pelajaran dan pengalaman dari usaha-usaha mereka terdahulu sehingga dapat menambah hebat makar dan tipu daya mereka.
  3. Masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam dengan tujuan memata-matai kaum muslimin dan merusak mereka dari dalam tubuh kaum muslimin.
Memang berbicara tentang tipu daya dan makar Yahudi kepada kaum Muslimin sejak wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga kini membutuhkan pembahasan yang panjang sekali. Namun rasanya cukup memberikan 3 contoh kejadian besar dalam sejarah Islam untuk mengungkapkan permasalahan ini. Yaitu:
  1. Fitnah pembunuhan khalifah UtsmanIni adalah awal keberhasilan Yahudi dalam menyusup dan merusak Islam dan kaum muslimin. Tokoh yahudi yang bertanggung jawab terjadinya peristiwa ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan Ibnu Sauda’. Kisahnya cukup masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab sejarah Islam.
  2. Fitnah Maimun Al Qadaah dan perkembangan sekte Bathiniyah. Keberhasilan Abdullah bin Saba’ membuat fitnah di kalangan kaum Muslimin dan mengajarkan saba’isme membuat orang Yahudi semakin berani. Sehingga belum habis fitnah Sabaiyah mereka sudah memunculkan tipu daya baru yang dipimpin seorang Yahudi bernama Maimun bin Dieshaan Al Qadaah dengan membuat sekte Batiniyah di Kufah tahun 276 H. Imam Al Baghdadi menceritakan: Diatara orang yang membangun sekte Bathiniyah adalah Maimun bin Dieshaan yang dikenal dengan Al Qadaah seorang maula bagi Ja’far bin Muhammad Al Shodiq yang berasal dari daerah Al Ahwaaz dan Muhammad bin Al Husein yang dikenal dengan Dandaan. Mereka berkumpul bersama Maimun Al Qadah di penjara Iraaq lalu membangun sekte Bathiniyah.Tipu daya Yahudi ini terus berjalan dalam bentuk yang beraneka ragam sehingga sekte ini berkembang menjadi banyak sekali sektenya dalam kaum muslimin, sampai-sampai menghalalkan pernikahan sesama mahrom dan hilangnya kewajiban syariat pada seseorang.
  3. Penghancuran kekhilafahan Turki Utsmani ditangan gerakan Masoniyah dan akibat yang ditimbulkan berupa perpecahan kaum muslimin.Orang Yahudi mengetahui sumber kekuatan kaum muslimin adaalh bersatunya mereka dibawah satu kepemimpinan dalam naungan kekhilafahan Islamiyah. Oleh karena mereka segera berusaha keras meruntuhkan kekhilafahan yang ada sejak zaman Khulafa’ Rasyidin sampai berhasil menghapus dan meruntuhkan negara Turki Utsmaniyah. Orang Yahudi memulai konspirasinya dalam meruntuhkan Negara Turki Utsmaniyah pada masa sultan Murad kedua (tahun 834-855H) dan setelah beliau pada masa sultan Muhammad Al Faatih (tahun 855-886H) yang meningal diracun oleh Thobib beliau seorang Yahudi bernama Ya’qub Basya. Demikian juga berhasil membunuh Sultan Sulaiman Al Qanuni (tahun 926-974H) dan para cucunya yang diatur oleh seorang Yahudi bernama Nurbaanu. Konspirasi Yahudi ini terus berlangsung di masa kekhilafahan Utsmaniyah lebih dari 400 tahunan hingga runtuhnya di tangan Mushthofa Ataturk.
Orang Yahudi dalam menjalankan rencana tipu daya mereka menggunakan kekuatan berikut ini:
  1. Yahudi Al Dunamah. Diantara tokohnya adalah Madhaat Basya dan Mushthofa Kamal Ataturk yang memiliki peran besar dan penting dalam penghancuran kekhilafahan Utsmaniyah.
  2. Salibis Eropa yang sangat membenci islam dan kaum muslimin dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan beberapa Negara eropa yaitu Bulgaria, Rumania, Namsa, Prancis, Rusia, Yunani dan Italia.
  3. Organisasi bawah tanah/rahasia, khususnya Masoniyah yang terus berusaha merealisasikan tujuan dan target Zionis.
Usaha-usaha Musthofa Kamal Basya Ataturk dalam menghancurkan kekhilafahan setelah berhasil menyingkirkan sultan Abdulhamid kedua adalah:
  1. Pada awal November 1922 M ia menghapus kesultanan dan membiarkan kekhilafahan
  2. Pada tanggal 18 November 1922M ia mencopot Wahieduddin Muhammad keenam dari kekhilafahan.
  3. Pada Agustus 1923 M ia mendirikan Hizb Al Sya’b Al Jumhuriah (Partai Rakyat Republik) dengan tokoh-tokoh pentingnya kebanyakan dari Yahudi Al Dunamah dan Masoniyah.
  4. Pada tanggal 20 oktober 1923 M Republik Turki diresmikan dan Al Jum’iyah Al Wathoniyah (Organisasi nasional) memilih Musthofa Kamal sebagai presiden Turki.
  5. Pada tanggal 2 Maret 1924 M Kekhilafahan dihapus total.
Demikianlah sempurna sudah keinginan orang-orang Yahudi untuk menjadikan kekhilafahan sebagai Negara sekuler yang dipimpin seorang Yahudi yang berkedok muslim.
Mudah-mudahan ringkas sejarah permusuhan Yahudi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.

;;
Free Blue Multi Glitter Pointer Cursors at www.totallyfreecursors.com