Di hari Jum’at sejak pagi hari di kota Riyadh terlihat sepi.
Toko-toko dan aktivitas di pasar asalnya sunyi dari pembeli. Apalagi
menjelang shalat Jum’at dilaksanakan, pintu-pintu toko akan terlihat
begitu rapat. Di kota Riyadh sendiri yang nampak di jalan-jalan saat
menjelang pelaksanaan shalat Jum’at hanyalah para pekerja non muslim
seperti dari India dan Filipina. Alasan mengapa di saat shalat Jum’at
tidak ada aktivitas dagang, karena ada larangan jual beli kala itu.
Dalil Pendukung
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا
اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
(QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini
menunjukkan terlarangnya jual beli setelah dikumandangkannya azan
Jum’at.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan jual beli ketika azan Jum’at adalah haram. Demikian pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Kapan Dimulai Larangan Jual Beli?
Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, larangan dimulai saat
azan. Namun azan yang dimaksud apakah azan yang pertama ataukah kedua?
Di sini ada beda pendapat.
Perlu diketahui bahwa azan kedua sebelum shalat Jum’at adalah azan yang diterapkan oleh khulafaur rasyidin. Sehingga tidak perlu diingkari. Demikian nasehat guru kami, Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah. Azan pertama di hari Jum’at ini ditambahkan di masa ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, salah seorang khulafaur rosyidin. Terdapat dalam hadits As Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ
النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى
الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ
عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ
الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ ” قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ
مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
“Dahulu azan pada hari Jum’at dilakukan di awal ketika imam di
mimbar. Ini dillakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Namun di masa ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu karena saking banyaknya jama’ah, beliau menambahkan azan sampai
tiga kali di Zawro’.” Abu ‘Abdillah berkata, “Zawro’ adalah salah satu tempat di pasar di Madinah.” (HR. Bukhari no. 912)
Yang dimaksudkan azan sampai tiga kali di sini adalah karena di saat
shalat Jum’at ada tiga kali azan. Azan pertama yang ditambahkan di masa
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu. Azan kedua adalah azan ketika
khutbah. Azan ketiga adalah ketika iqomah. Iqomah disebut pula azan
sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin Mughoffal Al Muzani,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ
“Di antara dua azan terdapat shalat (sunnah).” (HR. Bukhari no. 624 dan Muslim no. 838)
Jumhur ulama berpendapat bahwa azan mulai terlarangnya jual beli adalah azan kedua. Karena di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
ada sekali azan, yaitu saat imam duduk di mimbar. Adzan kedua inilah
yang dimaksudkan dalam firman Allah pada surat Jumu’ah di atas. Jika
jual beli dilakukan pada saat azan kedua ini akan melalaikan para
pembeli dan pedagang dari shalat, bahkan bisa sampai luput seluruh atau
sebagiannya.
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2/145) berkata, “Azan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
azan setelah imam duduk di mimbar. Maka hukum dikaitkan dengan azan
kedua tersebut, sama saja apakah azan tersebut sebelum atau sesudah zawal (matahari tergelincir ke barat). ”
Siapa yang Tercakup dalam Larangan Jual Beli?
Yang tercakup dalam larangan jual beli di sini adalah:
Pertama: Para pria
yang diwajibkan shalat Jum’at. Sedangkan wanita, anak kecil, dan orang
sakit tidak terkena larangan jual beli tersebut. Demikian pendapat
jumhur ulama. Alasannya, karena perintah dalam ayat ditujukan pada orang
yang pergi Jum’at. Orang selain itu berati tidak terkena larangan jual
beli kala itu.
Kedua: Orang yang melakukannya tahu akan larangan melakukan jual beli setelah azan kedua Jum’at. Demikian pendapat ulama Syafi’iyah.
Ketiga: Yang
melakukan jual beli bukan bermaksud untuk menghilangkan mudhorot
(bahaya) sehingga ia terpaksa melakukan jual beli seperti dalam keadaan
darurat harus beli makanan atau dalam keadaan darurat harus beli kafan
untuk mayit dan jika ditunda, kondisi mayit akan berubah.
Keempat: Jual beli dilakukan setelah azan Jum’at saat imam naik mimbar. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9/225)
Catatan: Jumhur ulama bukan hanya melarang jual beli
setelah azan kedua shalat Jum’at, termasuk pula nikah dan akad lainnya
yang membuat lalai dan luput dari shalat Jum’at.
Bagaimana jika yang melakukan jual beli salah satunya diwajibkan shalat Jum’at dan yang lain tidak?
Dalam Al Majmu’ (4/500), Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Jika dua orang melakukan transaksi jual beli, salah satunya wajib
shalat Jum’at dan yang lain tidak, maka kedua-duanya terkena dosa.
Karena yang satu telah membuat orang lain lalai dari shalat dan yang
lain lalai dari shalat Jum’at itu sendiri. Namun jual beli keduanya
tidak batal. Karena larangan yang dimaksud tidak mengarah pada rusaknya
akad sehingga tetap sah. Hal ini sebagaimana jika seseorang shalat di
tanah rampasan (shalatnya tetap sah, namun berdosa).”
Apakah Akadnya Sah?
Sebagaimana telah disinggung oleh Imam Nawawi di atas, jual beli yang
dilakukan setelah azan kedua shalat Jum’at tetap sah, namun berdosa.
Alasannya, karena larangan yang dimaksud bukan tertuju pada akad, namun
di luar akad, sehingga tetap sah.
Az Zamaksyari dalam Al Kasyaf (7/61) menyebutkan,
“Kebanyakan ulama berpendapat bahwa jual beli (setelah azan kedua
Jum’at) tidaklah diharamkan (karena akadnya). Akad tersebut diharamkan
karena dapat melalaikan dari yang wajib. Statusnya sama dengan shalat
seseorang di tanah rampasan, dengan baju rampusan atau dengan air
rampasan (artinya: shalatnya tetap sah, namun berdosa).”
Lanjutkan Jual Beli Setelah Shalat
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ
اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10)
Ada riwayat dari sebagian salaf, ia berkata,
من باع واشترى
في يوم الجمعة بعد الصلاة، بارك الله له سبعين مرة، لقول الله تعالى: {
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ
فَضْلِ اللَّهِ }
“Barangsiapa melakukan jual beli setelah shalat Jum’at, maka semoga
Allah memberikan ia keberkahan sebanyak 70 kali. Alasannya karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ” Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 13: 563)
Az Zamaksyari dalam Al Kasyaf (7/61) berkata pula,
بادروا تجارة
الآخرة ، واتركوا تجارة الدنيا ، واسعوا إلى ذكر الله الذي لا شيء أنفع منه
وأربح { وَذَرُواْ البيع } الذي نفعه يسير وربحه مقارب
“Berlomba-lombalah meraih (pahala) perniagaan akhirat dan
tinggalkanlah perniagaan dunia. Bersegeralah mengingat Allah yang tidak
ada sesuatu pun yang lebih bermanfaat dan lebih beruntung dibanding
aktivitas ibadah tersebut. Tinggalkanlah jual beli yang manfaat dan
untungnya jika dibanding hanyalah sedikit.” Di balik perintah dan
larangan Allah, pasti ada hikmah. Percayalah, keuntungan di akhirat
tentu lebih besar. Banyaklah berzikir dan mengingat Allah, jangan sampai
aktivitas duniamu membuat engkau lalai dari mengingat-Nya.
قال مجاهد: لا يكون العبد من الذاكرين الله كثيرا، حتى يذكر الله قائما وقاعدا ومضطجعا.
Mujahid berkata, “Seorang hamba tidaklah termasuk orang yang
banyak berzikir pada Allah sampai ia berzikir pada-Nya dalam keadaan
berdiri, duduk dan berbaring.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13/564)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar