Sejarah Agama islam di Indonesia | Kerajaan Aceh Darussalam
0 komentar Diposting oleh damayanti ayuningtiyas di 20.13
Sejarah Islam, Kesultanan aceh berdiri pada tahun
1514, terletak di ujung utara pulau Sumatra. Pendirinya adalah sultan
Ali Mughayat Syah yang bertakhta dari tahun 1514 – 1530. Pada tahun
1520, beliau memulai kampanye militernya untuk menguasai bagian utara
Sumatra. Dalam sejarah ini Kampanye pertamanya dilakukan di Daya, di sebelah barat laut, yang menurut Time Pires belum mengenal islam. Selanjutnya, Ali mughayat Syah melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas.
Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut,
didirikannya banyak pelabuhan. Penyebrangan ke Deli dan Aru adalah
perluasan daerah terakhir yang dilakukan oleh sultan Ali Mughayat.
Sultan juga mampu mengusir garnisun POrtugis dari daerah Deli, yang
meliputi Pedir dan Pasai. Namun saat penyebrangan terhadap Aru (1824),
tentara Ali Mughayat dapat dikalahkan oleh Armada Portugis.
Selain mengancam portugis sebagai pemilik kekuatan militer laut di
kawasan itu, aksi militer Sultan Ali Mughayat Syah ternyata juga
mengancam Kesultanan Johor. Pada tahun 1521 kesultanan Aceh diperluas
sampai Pidie, dan pada tahun 1524 ke pasai dan Aru, kemudian menyusul
Perlak, Tamiang, dan Lamuri. Kesultanan Aceh Darusalam merupakan
kelanjutan dari kesultanan Samudra pasai yang hancur pada abad ke 14.
Ada beberapa versi sejarah lain mengenai terbentuknya Kerajaan Aceh
Darussalam. Menurut Hikayat Aceh, Aceh Darusalam adalah persatuan dua
kerajaan yang masing-masing diperintah oleh Sultan Muzaffar Syah (Pidie)
dan raja Inayat Syah (Aceh Besar), dua orang bersaudara. Suatu saat
pecah peperangan antara keduanya, dan dimenangi oleh Muzaffar Syah. Dia
menyatukan Pidie dan Aceh Besar, lantas memberinya nama Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam membawahkan enam kerajaan kecil; kerajaan
Perlak, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Tamiang, Kerajaan Pidie,
Kerajaan Indrapura, dan Kerajaan indrajaya. Kitab Bustanus Salatin,
kitab kronik raja-raja aceh, menyebut Sultan Ali Mughayat Syah sebagai
sultan aceh yang pertama. Ia mendirikan Kesultanan Aceh dengan
menyatukan beberapa kerajaan kecil tersebut. Pusat kesultanan adalah .
Banda Aceh, yang juga disebut Kuta Raja.
Banda Aceh sebagai Bandar niaga tidak terlalu kecil untuk pelabuhan
kapal-kapal besar pada abad ke 16. pelabuhan banda aceh mudah dirapati
oleh berbagai jenis kapal dagang. Maka, aceh pun semakin ramai. Apalagi
sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, para saudagar muslim lebih
memilih berlabuh di Banda Aceh. Tak hanya pedagang Muslim, pedagang
asing non portugis pun juga turut meramaikan pelabuhan Banda Aceh,
sehingga kesultanan Aceh mendapatkan banyak keuntungan.
Dalam sejarah selama masa pemerintahannya, kesultanan Aceh telah diperintah oleh banyak sultan. Mereka adalah
- Sultan Ali Mughayat Syah (1514 – 1530)
- Sultan Salahuddin (1530 – 1538)
- Sultan Alauddin Ri’ayat syah Al-Qahhar (1538 – 1571)
- Sultan Husain (1571 – 1579)
- Sultan Muda (masih kanak-kanak) (1579, hanya beberapa bulan)
- Sultan Sri Alam (1579)
- Sultan Zainul Abidin (1579)
- Sultan Buyung (1586 – 1588)
- Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (1589 – 1604)
- Sultan Ali R’ayat Syah (1604 – 1607)
- Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636)
- Sultan Iskandar Tsani (1636 – 1641)
- Sultanat Safiatuddin Tajul Alam (1641 – 1675)
- Sultanat Naqiyatuddin Nurul Alam (1675 – 1678)
- Sultanat Inayat Syah (1678 – 1688)
- Sultanat Kamalat Syah (1688 – 1699)
- Sultan Badrul Alam Syarif hasyim jamaluddin (1699 – 1702)
- Sultan Perkasa Alam syarif Lamtury (1702 – 1726)
- Sultan Jauharul Alam badrul Munir (1703 – 1726)
- Sultan Jauharul Alam Aminuddin (hanya beberapa hari)
- Sultan Syamsul Alam (hanya beberapa hari)
- Sultan Johan (1735 – 1760)
- Sultan Mahmud Syah (1760 – 1781)
- Sultan Badruddin (1764 – 1765)
- Sultan Sulaiman Syah (1773)
- Sultan Alauddin Muhammad (1781 – 1795)
- Sultan Alauddin Jauharul Alam (1795 – 1815)
- Sultan Saiful Alam (1815 – 1818)
- Sultan Jauharul Alam (1818 – 1824)
- Sultan Muhammad Syah (1838 – 1870)
- Sultan Mansyur Syah (1838 – 1870)
- Sultan Mahmud Syah (1870 – 1874)
- Sultan Muhammad Daud Syah (1878 – 1903)
Pada tahun 1521, kesultanan Aceh di serah oleh armada Portugis yang
dipimpin oleh Jorge D. Britto. Akan tetapi, serangan itu dapat
dipatahkan oleh sultan Ali Mughayat Syah.
Pada tahun 1530, Ali Mughayat Syah meninggal dunia, lalu tahta Aceh
Darussalam dipegang oleh putra sulungnya, Sultan Salauddin. Pada masa
Salahuddin, tepatnya pada tahun 1537, Aceh Darussalam Aceh melancarkan
serangan ke malaka yang dikuasai protugis.
Sayang sekali, sultan Salahduddin dipandang bersikap terlalu lunak
dengan memberi peluang kepada misionaris portugis untuk bekerja di
tengah-tengah batak di daerah pantai timur sumatra. Ia juga dipandang
kurang memperhatikan urusan Pemerintahan. Maka kemudian Salahuddin
diganti oleh saudara, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar, pada tahun
1538.
Pada masa pemerintahan sultan Alauddin al-Qahhar, kesultanan Aceh
menyerang malaka sebanyak dua kali, yaitu pada tahuhn 1547 dan 1568.
menurut Musafir portugis, Mendez Pinto, pasukan aceh kala itu memiliki
tentara dari berbagai negara, diantaranya dari Turki, Cambay dan
malabar. Hal itu menunjukkan bahwa hubungan diplomatik yang baik telah
dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar. Bukti lain tentang hubungan
diplomatik yang baik telah dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar.
Bukti lain tentang hubungan diplomatik tersebut adalah kabar bahwa
Sultan juga mengirism utusan diplomatik ke luar negeri. Misalnya pada
tahun 1562 utusan dikirim ke istambul untuk membeli meriam dari sultan
Turki. Sultan Alauddin al-Qahhar pun mendatangkan ulama-ulama dari India
dan Persia untuk menyebarkan risalah Islam, membawa para ulama ke pedalaman Sumatra, mendirikan pusat Islam di ulakan, serta membawa islam ke minangkabau dan indrapura, sultan al-Qahhar meninggal dunia pada tanggal 28 September 1571.
Menyusul meninggalkanya sultan Alauddin, terjadilah ketegangan dalam
proses pergantian kekuasaan, hingga kemudian seorang ulama tua bernama
Sayyid al-Mukammil disepekati menjadi raja. Kemudian pada masanya, Ali
R’ayat Syah muncul menggantikan al-Mukammil.
Pada tahun 1607, aceh diserbu Portugis. Sultan Ali Ri’ayat syah gugur
dalam serbuan itu. Untunglah kemudian seorang pemuda yang cemerlang
muncul mengatasi keadaan. Dialah Iskandar muda, keponakan Sultan.
Iskandar muda bangkit memimpin perlawanan, hingga mampu menendang
Portugis keluar dari Aceh Darussalam. Kitab Bustanun Salatin menyebutkan
bahwa kemudian Iskandar Muda dinobatkan sebagai sultan pada 6
Dzulhijjah 1015, atau awal April 1607.
Iskandar muda merupakan sosok yang tegas dan keras. Para bangsawan
kerajaan dikontrolnya dengan ketak. Mereka diharuskan ikut melaksanakan
tugas jaga malam di istana setiap tiga hari sekali, tanpa membawa
senjata. Setelah semua terkontrol, iskandar muda memegang kendali
produksi beras. Di masanya, kesultanan Aceh Darussalam mengekspor beras
ke luar wilayah. Sultan memperketat pajak kelautan bagi kapal-kapal
asing, mengatur pajak perniagaan, bahkan juga mengenakan pajak untuk
harta kapal haram.
Dalam bidang militer, iskandar muda membangun angkatan perang yang
sangat kuat. Seorang asing bernama Beaulieu mencatat jumlah pasukan
darat Aceh sekitar 40 ribu orang. Untuk armada laut diperkirakan
memiliki 100 – 200 kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awak
600 – 800 orang yang dilengkapi dengan tiga meriam. Ia juga
mempekerjakan seorang asing kulit putih sebagai penasehat militer, yang
mengenalkan teknik perang bangsa eropa. Diperkirakan, penasehat tersebut
berasal dari Prancis.
Dengan kekuatan militer yang begitu ampuh, aceh menjebol benteng Deli.
Beberapa kerajaan lain juga ditaklukkan, seperti Johor (1613), Pahang
(1618), Kedah (1619), Serta Tuah (1620).
Kesultanan Aceh mengalami zaman keeemasan pada periode kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636). Sebagaimana telah disebutkan,
Iskandar Muda berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari tanah Aceh.
Permusuhan Aceh dengan portugis tidak berhenti di situ saja. Sebab pada
masa kepemimpinannya Iskandar muda pula, Aceh Darussalam menyerbu
portugis di selat malaka.
Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan besar-besaran
terhadap Portugis di Malaka. Dengan armada yang terdiri atas ratusan
kapal perang dan puluhan ribu tentara laut, Aceh menghantam Portugis.
Serangan dilakukan dalam upaya memperluas pengaruh politik dan
perdagangan Aceh atas selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Sayang
sekali, meski aceh telah berhasil mengepung malaka dari segala penjuru,
penyerangan ini berhasil ditangkis Portugis.
Selain dalam bidang militer, aceh pada zaman Iskandar Muda juga berjaya
di lapangan ilmu pengetahuan. Dalam sastra dan ilmu agama, aceh
melahirkan beberapa ulama ternama. Dua yang menonjol adalah Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Keduanya merupakan ilmuwan-ilmuwan
yang mendalami ilmu-ilmu tasawuf atau mistik islam.
Iskandar Muda meninggal dunia pada 29 rajab 1046 H atau 27 Desember
1636. dua tahun sebelumnya, iskandar muda telah menunjuk Iskandar Tsani
sebagai penggantinya. Sang pengganti tersebut adalah menantu iskandar
muda. Sebelum mengangkat menantunya itu, Iskandar Muda terlebih dahulu
memerintahkan agar anaknya sendiri (yang berkah menjadi sultan) untuk
dibunuh.
Sultan Iskandar Tsani (1634 – 1641) berperangai lebih lembut dari pada
pendahulunya, dan tidak memrinah dengan tangan besi. Iskandar muda lebih
menitik beratkan pembangunan negerinya pada masalah keagamaan
ketimbang kekuasaan. Begitu pula istrinya, Sultanah Taju al-Alam
Syafiatuddin Syah (1641 – 1675), yang menjadi pengganti Iskandar Tsani
setelah suaminya itu wafat.
Pada awal pemerintahan Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah,
kegemilangan Aceh di bidang politik, Ekonomi dan militer mulai menurun.
Sebab, sebagian orang tidak cukup senang dengan kepemimpinan perempuan.
Sehingga, kekuasaan para uleebalang (hulubalang) juga meningkat
karenanya.
Setelah Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah, tiga perempuan memegang
kendali kerajaan Aceh. Mereka Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin Syah
(1675 – 1677), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677 – 1688), dan Ratu
Kamalat (1688 – 1699).
Saat kesultanan Aceh dipimpin oleh sultan Iskandar Tsani, di Aceh
tinggal ulama Asal Gujarat, yakni Syekh Nuruddin ar-Raniri. Ulama ini
menulis kitab Siratal Mustaqim, mengenal ibadah dalam islam. Atas permintaan sultan, ia menulis pula kitab Bustanus Salatin, yang menjadi karya terpopulernya.
Atas perlindungan Sultan Iskandar Tsani, Nuruddin ar- Raniri menyatakan
terlarangnya ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani.
Menurut fatwa Nuruddin, pemahaman keagamaan hamzah dan Syamsuddin tidak
sesuai dengan ajaran islam yang asli. Lebih jauh lagi, Nuruddin ar-Raniri memimpin pembakaran buku-buku karya kedua ulama pendahulunya itu.
Saat tahta sultan Iskandar Tsani beralih ke Sultanah Taju al-Alam
Syafiatuddin Syah, Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Aceh. Posisinya
sebagai ulama besar kerajaan digantikan oleh Abdurrauf as-Singkeli.
Ulama ini juga dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan
Sultanah, pada tahun 1663 Abdurrauf as-Singkeli menulis kitab Mir’at
at-Tullab fi tahsil Ma’rifat Ahmad asy Syari’iyyah li al Malik Wahhab
atau cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada memudahkan
mengenal segala hkum Syara Allah.
Mengiringi penulisan kitab-kitab karya Abdurrauf, Sultanah Taju al-Alam juga menggalakkan pendidkan Agama Islam
melalui Jamiah Baiturrahman di banda Aceh, dan mengirim Al-Qur’an serta
kitab-kitab karangan ulama aceh kepada raja-raja ternate, Tidore, dan
Bacan di Maluku, selain mengirimkan pula guru-guru agama Islam.
Sultanah berikutnya adalah Sri Ratu Niqiyatuddin Nurul Alam, kemudian
inayat syah, dan terakhir Kamalat Syah. Pada tahun 1699, pemerintahan
sultanah atau sultan perempuan dihentikan. Sebab yang
melatarbelakanginya cukup serius, yakni fatwa dari Mekah yang menetapkan
bahwa syariat islam melarang wanita untuk memerintah negara.
Kesultanan aceh pada permulaan abad ke 18 mengalami serangkaian
perebutan tahta. Beberapa sultan yang saling bersaing berasal dari
golongan Sayid, yaknik keturunan Fatimah binti Nabi Muhammad SAW, yang
lahir di Aceh. Salah satu Sayid yang menjadi sultan adalah Jamalul Alam
badrul Munir, yang memerintah pada tahun 1703 – 1726. sultan ini
dijatuhkan pada tahun 1726, lalu setelahnya melancarkan perlawanan
terhadap sultan-sultan sesudahnya, termasuk Sultan Ahmad Syah (1727 –
1735) dan putranya, Sultan Johan (1735 – 1760). Jamalul Alam akhirnya
meninggal dalam pertempuran melawan Sultan Johan.
Di tahun 1816, Sultan Saiful Alam bertikai dengan Jauharul Alam
Aminuddin. Jauharul Alam memenangi suksesi dan menjadi sultan Aceh
dengan bantuan Inggris. Setelah itu, aceh mengikat perjanjian dengan
Inggris yang diwakili oleh Thomas Stamford Raffles. Lewat perjanjian
itu, inggris mendapat kesempatan berniaga di Kesultanan Aceh, dengan
imbalan jaminan keamanan bagi Aceh dari Inggris. Perjanjian ini dibuat
pada tanggal 22 April 1818.
Pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris dan belanda membnuat perjanjian di
london yang antara lain berisi penghormatan kedaulatan aceh oleh pihak
Belanda. Pada tanggal 2 November 1871 ditandatangani Traktat Sumatra,
perjanjian baru antara belanda dan Inggris dengan membatalkan perjanjian
London. Perjanjian ini memberi kebebasan bagi Inggris untuk
mengembangkan kekuasaan di Malaya, dan bagi Belanda untuk memperluas
kekuasannya di Sumatra.
Pemerintahan kesultanan Aceh terus berjalan. Namun, pamornya lambat
laun menyurut. Pertikaian internal terjadi tak kunjung henti. Sementara,
pusat kegiatan ekonomi dan politik bergeser ke selatan ke wilayah Riau –
Johor – Malaka. Aceh baru muncul lagi dua abad kemudian, yaknik pada
akhir abad 19. saat itu, belanda berusaha menguasai wilayah tersebut.
Perlawanan para bangsawan Aceh pun terjadi. Sekali lagi, sejarah aceh
diwarnai oleh kepemimpinan kaum perempuan, yakni melalui perlawanan
Tjut Nya’ Dhien. Dengan alasan mengalahkan Tjut Nya’ Dhien, belanda
melanggar kedaulatan Aceh dengan menyerbu ibukota Kesultanan Aceh pada
tahun 1873, menduduki Banda Aceh, serta kota-kota pantai lainnya. Pada
januari 1874, istana kesultanan aceh dapat direbut Belanda. Sehingga,
belanda menyatakan Aceh menjadi kepunyaan pemerintah Hindia beladan dan
Kesultanan Aceh Darussalam dihapuskan.
Dalam kondisi demikian, perjuangan rakyat aceh belum berhenti. Sultan
Mahmud syah yang berhasil meloloskan diri dari penyergapan Belanda masih
terus bergerilya. Setelah akhirnya Mahmud Syah meninggal karena sakit,
perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat aceh beserta para
panglima tanah Rencong, sampai tahun 1903.
Sejarah Agama islam di Indonesia | Kerajaan Perlak
0 komentar Diposting oleh damayanti ayuningtiyas di 20.12
Islam adalah agama di Indonesia yang paling banyak pemeluknya, bagaimana sih kok islam dapat masuk ke Indonesia? bagaimana kah sejarah islam di Indonesia ini? Silahkan baca artikel sejarah islam kerajaan parlak di bawah ini
Agama islam masuk ke Indonesia secara
besar besaran terjadi sekitar abad XIV dan XV, masuk dan berkembanganya
islam di Indonesia ini juga tidak lepas dari kerajaan-kerajaan islam di
Indonesia, seperti kesultanan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Malaka,
Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, Ternate dan lain-lain. agar lebih jelas dalam menyimak sejarah islam di Indonesia, bagian pertama ini mari kita simak tentang sejarah kerajaan Islam Kesultanan Perlak
Kesultanan Perlak
Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 masehi,
Khalifah Usman bin Affan mengirim delegasi ke Cina. delegasi tersebut
bertugas memperkenalkan agama islam. Waktu itu hanya berselang sekitar
20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW. dalam perjalanan laut yang
memakan waktu empat tahun ini, para utusan usman ternyata sempat singgah
di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674
Masehi, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai
barat sumatra.
Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Agama Islam.
Sejak saat itu, para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad
demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil
berdakwah. lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk agama islam,
meskipun belum secara besar-besaran. Aceh daerah paling barat di
kepulauan Nusantara adalah yang pertama kali menerima ajaran agama
islam. bahkan di acehlah kesultanan atau kerajaan islam pertama di
Indonesia berdiri, yakni kesultanan Perlak (Memang ada perbedaan
pendapat, di versi lain menyebutkan kerajaan islam yang pertama adalah
Samudra Pasai)
Kesultanan Perlak adalah kerajaan islam
pertama di Nusantara, kerajaan ini berkuasa pada tahun 840 hingga 1292
Masehi di sekitar wilayah Peureulak atau Perlak. Kini wilayah tersebut
mask dalam wilayah Aceh Timur, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Perlak Merupakan Suatu daerah penghasil
kayu perlak, adalah kayu yang digunakan sebagai bahan dasar kapal.
Posisi strategis dan hasil alam yang melimpah membuat perlak berkembang
sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad VIII hingga XII. sehingga,
perlak sering disinggahi oleh Jutaan kapal dari arab, persia, gujarat,
malaka, cina, serta dari seluruh kepulauan nusantara. karena
singgahannya kapal-kapal asing itulah masyarakat islam berkembang,
melalui perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan
setempat.
Pendiri kesultanan Perlak adalah sultan
Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab
Syiah. Ia merupakan keturunan pendakwah arab dengan perempuan setempat.
Kerajaan perlak didirikannya pada tanggal 1 Muharram 225 H atau 840
masehi, saat kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu di Jawa masih
berjaya. sebagai gebrakan mula-mula, sultan Alaiddin mengubah nama ibu
kota kerajaan dari bandar Perlak menjadi Banda Khalifah.
Ketika pemerintahan Sultan Alaiddin
Sayid maulana Abbas Shah, sultan ketiga, ulama-ulama bermazhab Sunni
mulai masuk ke perlak dan menebarkan pengaruh. setelah wafatnya sultan
pada 363 H atau 913 masehi, terjadi ketegangan antara kaum Syiah dengan
kaum Suni, sehingga selama dua tahun berikutnya kesultanan Perlak vakum
kekuasaan, tidak memiliki sultan.
Setelah masa dua tahun tersebut, kaum
syiah memenangi persaingan, kemudian pada tahun 915 M atau 302 H, Sultan
Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah naik tahta. Pada akhir
pemerintahannya, terjadi lagi ketegangan antara kaum Syiah dan kaum
Suni, yang kali ini membawa kaum suni pada keunggulan. Akibatnya, para
sultan berikutnya diangkat dari golongan Sunni.
Tahun 956 masehi atau 362 H, setelah
meninggalnya Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan berdaulat
atau sultan ketujuh, terjadi lagi ketegangan selama kurang lebih empat
tahun antara golongan Syiah dan Sunni, yang diakhiri dengan perdamaian
dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian ; yaitu Perlak Pesisir (Syiah)
dipimpin oleh Sultan Alaiddin Sayid Maulana Syah (986 – 988) dan Perlak
Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim
Syah Johan berdaulat (986 – 1023).
Pada tahun 988, Kerajaan Sriwijaya
Menyerang Perlak. Sultan Alaiddin Maulana Syah meninggal karena serangan
itu. Namun demikian, sebagai akibatnya, seluruh perlak justru bersatu
kembali di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah
Berdaulat. Sultan Makhdum melanjutkan perjuangan melawan kerajaan Budha
Sri Wijaya hingga tahun 1006.
Para Sultan Perlak dapat dikelompokkan
menjadi dua dinasti, yaitu Dinasti Sayid Maulana Abdul Azis Syah dan
Dinasti Johan Berdaulat. Di bawah ini merupakan nama-nama sultan yang
memerintah kerajaan perlak ;
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah (840 – 864
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Rahim Syah (864 – 888)
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888 – 913)
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah (915 – 918)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir (928 – 932)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (932 – 956)
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik (956 – 983)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim (986 – 1023)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud (1023 – 1059)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik mansur (1059 – 1078)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah (1078 – 1109)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad (1109 – 1135)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik mahmud (1135 – 1160)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad (1173 – 1200)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil (1200 – 1230)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (1230 – 1267)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz (1267 – 1292)
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah (840 – 864
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Rahim Syah (864 – 888)
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888 – 913)
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah (915 – 918)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir (928 – 932)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (932 – 956)
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik (956 – 983)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim (986 – 1023)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud (1023 – 1059)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik mansur (1059 – 1078)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah (1078 – 1109)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad (1109 – 1135)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik mahmud (1135 – 1160)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad (1173 – 1200)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil (1200 – 1230)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (1230 – 1267)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz (1267 – 1292)
Berita dari marcopolo menyebutkan, pada
saat persinggahannya di Pasai pada tahun 692 H atau 1292 M, telah banyak
ulama arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu
Batuttah, Pengembara Muslim dari Maghribi (sekarang maroko). Ketika
Singgah di aceh pada tahun 746 H atau 1345 M, ibnu Batuttah menuliskan
bahwa di Perlak dan Pasai telah tersebar Mazhab Syafi’i.
Pada awal abad ke-13 di Ujung barat
Sumatra berdiri kerajaan baru di bawah Sultan Malik Al-Saleh, bernama
Samudra Pasai. Sementara di malaka, seorang pangeran asal Sri Wijaya
membangun kerajaan baru bernama Malaka. Artinya situasi politik saat itu
sedang memanas. Untuk itu, Sultan Makhdum Alaiddin mallik Muhammad Amin
Syah II Johan Berdaulat (1230 – 1267) sebagai sultan ke 17 menjalankan
politik persahabatan. Jalan yang ia tempuh adalah dengan menikahkan dua
orang putrinya dengan para penguasa negeri tetangga. Putri ratna Kamala
dinikahkannya dengan raja kerajaan Malaka yaitu Sultan Muhammad Syah
Parameswara, sementara itu ganggang dinikahkan dengan raja kerajaan
Samudra Pasai, malik Al-Saleh.
Meski telah menjalankan politik damai
dengan mengikat persaudaraan, ketegangan politik itu rupanya tetap saja
mengancam kedaulatan kesultanan Perlak. Perlak goyah, Sultan makdum
Aliddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292) menjadi sultan
yang terakhir. Setelah ia meninggal, perlak disatukan dengan kerajaan
Samudra Pasai di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Zahir,
putra Al-Saleh.
itulah penjelasan mengenai Sejarah Agama islam Indonesia di Kerajaan Perlak, semoga artikel ini bisa menambah pengetahuan dan menfaat bagi kamu yang membutuhkan
1) Jaman Majapahit (SERAT DARMOGANDUL) (oleh Laurent)
2) Jaman Pajajaran (oleh wachdiejr)
3) Mohtar Lubis : Islam masuk Indonesia secara damai ?
4) Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
oleh: Batara R. Hutagalung
5) KERIS: lambang peradaban Melayu (pra-Islam) yg dihancurkan Islam, oleh : Orang Melayu, Dr Fachdie Noor
6) Ulasan ttg buku VS NAIPAUL, 'Beyond belief : Islamic Excursions Among the Converted Peoples. In the Land of Converts: An Islamic Journey'
7) Jihad di Lombok & Bali
Kontroversi Serat Darmo Gandhul:
Betulkah Ki Kalam Wadi adalah Ronggo Warsito?
Masuknya
Islam ke Tanah Jawa ternyata menyimpan cerita yang sungguh luar biasa.
Salah satunya terekam dalam Serat Darmo Gandhul yang kontroversial itu.
Dalam serat yang aslinya berbahasa Jawa Kuno itu
dipaparkan perjalanan beberapa wali, juga hambatan dan benturan dng budaya dan kepercayaan lokal.
Penulis serat ini tak menunjukkan jati diri aslinya. Ada yang menafsirkan,
pengarangnya
adalah Ronggo Warsito. Ia pakai nama samaran Ki Kalam Wadi, yang
berarti rahasia atau kabar yang dirahasiakan. Ditulis dalam bentuk prosa
dengan pengkisahan yang menarik. Isi Darmo Gandhul tentu saja
mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam di
Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah,
terpenggalnya kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu
dan Budha ke berbagai wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan
pegunungan dan hutan rimba, adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian massal oleh sekelompok orang yang ingin mengIslamkan P Jawa.
Terkait dengan kisah Wali Songo
yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, kebetulan saya ada
terjemahan Serat Darmo Gandhul yang aslinya berbahasa Jawa Kuno. Yang
saya kirimkan berikut ini adalah versi yang tidak lengkap, bersumber
dari Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Anda bisa baca dan menilai
sendiri. Hanya agar lebih enak untuk dibaca, Posmo menyuntingnya
disana-sini. Yang perlu dicatat, pembaca sendiri harus kritis menyikapi
isi cerita yang mungkin amat tendensius ini.
Serat Darmo Gandhul pernah diterbitkan oleh Dahara Prize - Semarang
berukuran
15 cm x 15 cm. Berikut ini adalah tulisan tentang Serat Darmo Gandhul
yang dimuat berseri di Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Isi dari serat
ini rasanya masih relevan dikaitkan dengan zaman sekarang, dimana mulai
bermunculan kelompok fundamentalis Islam, terorisme yang mengatas
namakan agama, dan juga kelompok-kelompok yang bermimpi untuk mendirikan
kekhalifahan Islam di negeri ini, dan juga di negara-negara Asia
Tenggara lainnya.
c. Peranan Para Wali dan Ulama
Salah satu cara penyebaran agama Islam
ialah dengan cara mendakwah. Di samping sebagai pedagang, para pedagang
Islam juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang
datang bersama pedagang dengan misi agamanya. Penyebaran Islam melalui
dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek
dakwah, dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai
bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri
dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga
mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9
wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam
mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan
istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya
seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar
sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut
adalah seperti berikut.
(1) Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama
datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
(2) Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya,
Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
(3) Sunan Derajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
(4) Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan
Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
(5) Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang.
Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan
filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan
setempat.
(6) Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu
Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan
metode bermain.
(7) Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa
Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara
Kudus.
(8) Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung
Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat
dengan rakyat jelata.
(9) Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di
Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.
3. Kapan dan dari mana Islam Masuk Indonesia
Sejarah mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari
India dan Cina sudah memiliki hubungan dagang dengan penduduk Indonesia.
Namun demikian, kapan tepatnya Islam hadir di Nusantara?
Masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan berbagai teori. Meski
terdapat beberapa pendapat mengenai kedatangan agama Islam di Indonesia,
banyak ahli sejarah cenderung percaya bahwa masuknya Islam ke Indonesia
pada abad ke-7 berdasarkan Berita Cina zaman Dinasti Tang. Berita itu
mencatat bahwa pada abad ke-7, terdapat permukiman pedagang muslim dari
Arab di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatra Utara.
Abad ke-13 Masehi lebih menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan
dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Pendapat ini
berdasarkan catatan
perjalanan Marco Polo yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di
Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa dengan orang-orang yang telah
menganut agama Islam.
Bukti yang turut memperkuat pendapat ini ialah ditemukannya nisan
makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun
1297.
Jika diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali masuk di
Perlak, bagian utara Sumatra. Hal ini menyangkut strategisnya letak
Perlak, yaitu di daerah Selat Malaka, jalur laut perdagangan
internasional dari barat ke timur. Berikutnya ialah Kerajaan Samudra
Pasai.
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan
ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada
tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar,
Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan
Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga
ditemukan makam Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang
meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto
juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun
1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana
Majapahit.
Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh
bangsawan Arab bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di
hulu Sungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan pemakaman
Islam kuno. Angka tahun yang tertua pada makam-makam tersebut adalah
tahun 1340 Saka (1418 M). Jadi, Islam telah ada sebelum abad ke-15 dan
diperkirakan berasal dari Majapahit karena bentuk makam bergaya
Majapahit dan berangka tahun Jawa kuno. Di Kalimantan Timur, Islam masuk
melalui Kerajaan Kutai yang dibawa oleh dua orang penyiar agama
dari Minangkabau yang bernama Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji
Tunggangparangan. Di Kalimantan Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan
Banjar yang disiarkan oleh Dayyan, seorang khatib (ahli khotbah) dari
Demak. Di Kalimantan Tengah, bukti kedatangan Islam ditemukan pada masjid Ki Gede di Kotawaringin yang bertuliskan angka tahun 1434 M.
Di Sulawesi, Islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo. Hal
masuknya Islam ke Sulawesi ini tercatat pada Lontara Bilang. Menurut
catatan tersebut, raja pertama yang memeluk Islam ialah Kanjeng Matoaya,
raja keempat dari Tallo yang memeluk Islam pada tahun 1603. Adapun
penyiar agama Islam di daerah ini berasal antara lain dari Demak, Tuban, Gresik,
Minangkabau, bahkan dari Campa. Di Maluku, Islam masuk melalui bagian
utara, yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Diperkirakan Islam di daerah ini disiarkan oleh keempat ulama dari Irak, yaitu Syekh Amin, Syekh Mansyur, Syekh Umar, dan Syekh Yakub pada abad ke-8.
b. Peranan Bandar-Bandar di Indonesia
Bandar merupakan tempat berlabuh kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapal dagang. Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan.
Sebagai negara kepulauan yang terletak pada jalur perdagangan
internasional, Indonesia memiliki banyak bandar. Bandar-bandar ini
memiliki peranan dan arti yang penting dalam proses masuknya Islam ke
Indonesia.
Di bandar-bandar inilah para pedagang beragama Islam memperkenalkan
Islam kepada para pedagang lain ataupun kepada penduduk setempat. Dengan
demikian, bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam
ke Indonesia. Kalau kita lihat letak geografis kota-kota pusat kerajaan
yang bercorak Islam pada umunya terletak di pesisir-pesisir dan muara
sungai.
Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota
bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai,
Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik,
Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang
memeluk agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk
agama Islam.
Peranan bandar-bandar sebagai pusat perdagangan dapat kita lihat
jejaknya. Para pedagang di dalam kota mempunyai perkampungan
sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas persetujuan dari
penguasa kota tersebut, misalnya di Aceh, terdapat perkampungan orang
Portugis, Benggalu Cina, Gujarat, Arab, dan Pegu.
Begitu juga di Banten dan kota-kota pasar kerajaan lainnya. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kota-kota pada masa pertumbuhan
dan perkembangan Islam memiliki ciri-ciri yang hampir sama antara lain
letaknya di pesisir, ada pasar, ada masjid, ada perkampungan, dan ada
tempat para penguasa (sultan).
a. Peranan Kaum Pedagang
Seperti halnya penyebaran agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang
peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia
maupun para pedagang Indonesia.
Para pedagang itu datang dan berdagang
di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat
transit para pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka
seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang.
Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk
menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi
pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan
penduduk setempat. Terjadilah kegiatan
saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya
melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.
Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya
Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka,
mulailah ada penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan
penganut agama Islam makin banyak. Bahkan kemudian berkembang
perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.
Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan
Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya,
Islam mulai berkembang di masyarakat
Indonesia. Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada
yang menikah dengan penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan
anak-anak yang Islam.
Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya
muncul sebuah komunitas Islam, yang setelah kuat akhirnya membentuk
sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan
Islam di Nusantara.
Islam merupakan salah satu agama besar di dunia saat ini. Agama ini lahir dan berkembang di Tanah Arab. Pendirinya ialah Muhammad.
Agama ini lahir salah satunya sebagai reaksi atas rendahnya moral
manusia pada saat itu. Manusia pada saat itu hidup dalam keadaan moral
yang rendah dan kebodohan (jahiliah). Mereka sudah tidak lagi
mengindahkan ajaran-ajaran nabi-nabi sebelumnya. Hal itu menyebabkan
manusia berada pada titik terendah. Penyembahan berhala, pembunuhan,
perzinahan, dan tindakan rendah lainnya merajalela.
Islam mulai disiarkan sekitar tahun 612 di Mekkah. Karena penyebaran
agama baru ini mendapat tantangan dari lingkungannya, Muhammad kemudian
pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622. Dari sinilah Islam berkembang
ke seluruh dunia.
Muhammad mendirikan wilayah kekuasaannya di Madinah. Pemerintahannya
didasarkan pada pemerintahan Islam. Muhammad kemudian berusaha
menyebarluaskan Islam dengan memperluas wilayahnya.
Setelah Muhammad wafat pada tahun 632, proses menyebarluaskan Islam dilanjutkan oleh para kalifah yang ditunjuk Muhammad.
Sampai tahun 750, wilayah Islam telah meliputi Jazirah Arab,
Palestina, Afrika Utara, Irak, Suriah, Persia, Mesir, Sisilia, Spanyol,
Asia Kecil, Rusia, Afganistan, dan daerah-daerah di Asia Tengah. Pada masa ini yang memerintah ialah Bani Umayyah dengan ibu kota Damaskus.
Pada tahun 750, Bani Umayyah dikalahkan oleh Bani Abbasiyah yang
kemudian memerintah sampai tahun 1258 dengan ibu kota di Baghdad. Pada
masa ini, tidak banyak dilakukan perluasan wilayah kekuasaan.
Konsentrasi lebih pada pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
peradaban Islam. Baghdad menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Setelah pemerintahan Bani Abbasiyah, kekuasaan Islam terpecah.
Perpecahan ini mengakibatkan banyak wilayah yang memisahkan diri.
Akibatnya, penyebaran Islam dilakukan secara perorangan. Agama ini dapat
berkembang dengan cepat karena Islam mengatur hubungan manusia dan
TUHAN. Islam disebarluaskan tanpa paksaan kepada setiap orang untuk
memeluknya.
;;
Subscribe to:
Postingan (Atom)