Sejarah Islam, Kesultanan aceh berdiri pada tahun 1514, terletak di ujung utara pulau Sumatra. Pendirinya adalah sultan Ali Mughayat Syah yang bertakhta dari tahun 1514 – 1530. Pada tahun 1520, beliau memulai kampanye militernya untuk menguasai bagian utara Sumatra. Dalam sejarah ini Kampanye pertamanya dilakukan di Daya, di sebelah barat laut, yang menurut Time Pires belum mengenal islam. Selanjutnya, Ali mughayat Syah melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas.
Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, didirikannya banyak pelabuhan. Penyebrangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang dilakukan oleh sultan Ali Mughayat. Sultan juga mampu mengusir garnisun POrtugis dari daerah Deli, yang meliputi Pedir dan Pasai. Namun saat penyebrangan terhadap Aru (1824), tentara Ali Mughayat dapat dikalahkan oleh Armada Portugis.
Selain mengancam portugis sebagai pemilik kekuatan militer laut di kawasan itu, aksi militer Sultan Ali Mughayat Syah ternyata juga mengancam Kesultanan Johor. Pada tahun 1521 kesultanan Aceh diperluas sampai Pidie, dan pada tahun 1524 ke pasai dan Aru, kemudian menyusul Perlak, Tamiang, dan Lamuri. Kesultanan Aceh Darusalam merupakan kelanjutan dari kesultanan Samudra pasai yang hancur pada abad ke 14.
Ada beberapa versi sejarah lain mengenai terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Hikayat Aceh, Aceh Darusalam adalah persatuan dua kerajaan yang masing-masing diperintah oleh Sultan Muzaffar Syah (Pidie) dan raja Inayat Syah (Aceh Besar), dua orang bersaudara. Suatu saat pecah peperangan antara keduanya, dan dimenangi oleh Muzaffar Syah. Dia menyatukan Pidie dan Aceh Besar, lantas memberinya nama Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam membawahkan enam kerajaan kecil; kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Tamiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan Indrapura, dan Kerajaan indrajaya. Kitab Bustanus Salatin, kitab kronik raja-raja aceh, menyebut Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan aceh yang pertama. Ia mendirikan Kesultanan Aceh dengan menyatukan beberapa kerajaan kecil tersebut. Pusat kesultanan adalah . Banda Aceh, yang juga disebut Kuta Raja.
Banda Aceh sebagai Bandar niaga tidak terlalu kecil untuk pelabuhan kapal-kapal besar pada abad ke 16. pelabuhan banda aceh mudah dirapati oleh berbagai jenis kapal dagang. Maka, aceh pun semakin ramai. Apalagi sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, para saudagar muslim lebih memilih berlabuh di Banda Aceh. Tak hanya pedagang Muslim, pedagang asing non portugis pun juga turut meramaikan pelabuhan Banda Aceh, sehingga kesultanan Aceh mendapatkan banyak keuntungan.
Dalam sejarah selama masa pemerintahannya, kesultanan Aceh telah diperintah oleh banyak sultan. Mereka adalah
- Sultan Ali Mughayat Syah (1514 – 1530)
- Sultan Salahuddin (1530 – 1538)
- Sultan Alauddin Ri’ayat syah Al-Qahhar (1538 – 1571)
- Sultan Husain (1571 – 1579)
- Sultan Muda (masih kanak-kanak) (1579, hanya beberapa bulan)
- Sultan Sri Alam (1579)
- Sultan Zainul Abidin (1579)
- Sultan Buyung (1586 – 1588)
- Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (1589 – 1604)
- Sultan Ali R’ayat Syah (1604 – 1607)
- Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636)
- Sultan Iskandar Tsani (1636 – 1641)
- Sultanat Safiatuddin Tajul Alam (1641 – 1675)
- Sultanat Naqiyatuddin Nurul Alam (1675 – 1678)
- Sultanat Inayat Syah (1678 – 1688)
- Sultanat Kamalat Syah (1688 – 1699)
- Sultan Badrul Alam Syarif hasyim jamaluddin (1699 – 1702)
- Sultan Perkasa Alam syarif Lamtury (1702 – 1726)
- Sultan Jauharul Alam badrul Munir (1703 – 1726)
- Sultan Jauharul Alam Aminuddin (hanya beberapa hari)
- Sultan Syamsul Alam (hanya beberapa hari)
- Sultan Johan (1735 – 1760)
- Sultan Mahmud Syah (1760 – 1781)
- Sultan Badruddin (1764 – 1765)
- Sultan Sulaiman Syah (1773)
- Sultan Alauddin Muhammad (1781 – 1795)
- Sultan Alauddin Jauharul Alam (1795 – 1815)
- Sultan Saiful Alam (1815 – 1818)
- Sultan Jauharul Alam (1818 – 1824)
- Sultan Muhammad Syah (1838 – 1870)
- Sultan Mansyur Syah (1838 – 1870)
- Sultan Mahmud Syah (1870 – 1874)
- Sultan Muhammad Daud Syah (1878 – 1903)
Pada tahun 1521, kesultanan Aceh di serah oleh armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge D. Britto. Akan tetapi, serangan itu dapat dipatahkan oleh sultan Ali Mughayat Syah.
Pada tahun 1530, Ali Mughayat Syah meninggal dunia, lalu tahta Aceh Darussalam dipegang oleh putra sulungnya, Sultan Salauddin. Pada masa Salahuddin, tepatnya pada tahun 1537, Aceh Darussalam Aceh melancarkan serangan ke malaka yang dikuasai protugis.
Sayang sekali, sultan Salahduddin dipandang bersikap terlalu lunak dengan memberi peluang kepada misionaris portugis untuk bekerja di tengah-tengah batak di daerah pantai timur sumatra. Ia juga dipandang kurang memperhatikan urusan Pemerintahan. Maka kemudian Salahuddin diganti oleh saudara, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar, pada tahun 1538.
Pada masa pemerintahan sultan Alauddin al-Qahhar, kesultanan Aceh menyerang malaka sebanyak dua kali, yaitu pada tahuhn 1547 dan 1568. menurut Musafir portugis, Mendez Pinto, pasukan aceh kala itu memiliki tentara dari berbagai negara, diantaranya dari Turki, Cambay dan malabar. Hal itu menunjukkan bahwa hubungan diplomatik yang baik telah dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar. Bukti lain tentang hubungan diplomatik yang baik telah dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar. Bukti lain tentang hubungan diplomatik tersebut adalah kabar bahwa Sultan juga mengirism utusan diplomatik ke luar negeri. Misalnya pada tahun 1562 utusan dikirim ke istambul untuk membeli meriam dari sultan Turki. Sultan Alauddin al-Qahhar pun mendatangkan ulama-ulama dari India dan Persia untuk menyebarkan risalah Islam, membawa para ulama ke pedalaman Sumatra, mendirikan pusat Islam di ulakan, serta membawa islam ke minangkabau dan indrapura, sultan al-Qahhar meninggal dunia pada tanggal 28 September 1571.
Menyusul meninggalkanya sultan Alauddin, terjadilah ketegangan dalam proses pergantian kekuasaan, hingga kemudian seorang ulama tua bernama Sayyid al-Mukammil disepekati menjadi raja. Kemudian pada masanya, Ali R’ayat Syah muncul menggantikan al-Mukammil.
Pada tahun 1607, aceh diserbu Portugis. Sultan Ali Ri’ayat syah gugur dalam serbuan itu. Untunglah kemudian seorang pemuda yang cemerlang muncul mengatasi keadaan. Dialah Iskandar muda, keponakan Sultan. Iskandar muda bangkit memimpin perlawanan, hingga mampu menendang Portugis keluar dari Aceh Darussalam. Kitab Bustanun Salatin menyebutkan bahwa kemudian Iskandar Muda dinobatkan sebagai sultan pada 6 Dzulhijjah 1015, atau awal April 1607.
Iskandar muda merupakan sosok yang tegas dan keras. Para bangsawan kerajaan dikontrolnya dengan ketak. Mereka diharuskan ikut melaksanakan tugas jaga malam di istana setiap tiga hari sekali, tanpa membawa senjata. Setelah semua terkontrol, iskandar muda memegang kendali produksi beras. Di masanya, kesultanan Aceh Darussalam mengekspor beras ke luar wilayah. Sultan memperketat pajak kelautan bagi kapal-kapal asing, mengatur pajak perniagaan, bahkan juga mengenakan pajak untuk harta kapal haram.
Dalam bidang militer, iskandar muda membangun angkatan perang yang sangat kuat. Seorang asing bernama Beaulieu mencatat jumlah pasukan darat Aceh sekitar 40 ribu orang. Untuk armada laut diperkirakan memiliki 100 – 200 kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awak 600 – 800 orang yang dilengkapi dengan tiga meriam. Ia juga mempekerjakan seorang asing kulit putih sebagai penasehat militer, yang mengenalkan teknik perang bangsa eropa. Diperkirakan, penasehat tersebut berasal dari Prancis.
Dengan kekuatan militer yang begitu ampuh, aceh menjebol benteng Deli. Beberapa kerajaan lain juga ditaklukkan, seperti Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619), Serta Tuah (1620).
Kesultanan Aceh mengalami zaman keeemasan pada periode kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636). Sebagaimana telah disebutkan, Iskandar Muda berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari tanah Aceh. Permusuhan Aceh dengan portugis tidak berhenti di situ saja. Sebab pada masa kepemimpinannya Iskandar muda pula, Aceh Darussalam menyerbu portugis di selat malaka.
Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Portugis di Malaka. Dengan armada yang terdiri atas ratusan kapal perang dan puluhan ribu tentara laut, Aceh menghantam Portugis. Serangan dilakukan dalam upaya memperluas pengaruh politik dan perdagangan Aceh atas selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Sayang sekali, meski aceh telah berhasil mengepung malaka dari segala penjuru, penyerangan ini berhasil ditangkis Portugis.
Selain dalam bidang militer, aceh pada zaman Iskandar Muda juga berjaya di lapangan ilmu pengetahuan. Dalam sastra dan ilmu agama, aceh melahirkan beberapa ulama ternama. Dua yang menonjol adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Keduanya merupakan ilmuwan-ilmuwan yang mendalami ilmu-ilmu tasawuf atau mistik islam.
Iskandar Muda meninggal dunia pada 29 rajab 1046 H atau 27 Desember 1636. dua tahun sebelumnya, iskandar muda telah menunjuk Iskandar Tsani sebagai penggantinya. Sang pengganti tersebut adalah menantu iskandar muda. Sebelum mengangkat menantunya itu, Iskandar Muda terlebih dahulu memerintahkan agar anaknya sendiri (yang berkah menjadi sultan) untuk dibunuh.
Sultan Iskandar Tsani (1634 – 1641) berperangai lebih lembut dari pada pendahulunya, dan tidak memrinah dengan tangan besi. Iskandar muda lebih menitik beratkan pembangunan negerinya pada masalah keagamaan ketimbang kekuasaan. Begitu pula istrinya, Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah (1641 – 1675), yang menjadi pengganti Iskandar Tsani setelah suaminya itu wafat.
Pada awal pemerintahan Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah, kegemilangan Aceh di bidang politik, Ekonomi dan militer mulai menurun. Sebab, sebagian orang tidak cukup senang dengan kepemimpinan perempuan. Sehingga, kekuasaan para uleebalang (hulubalang) juga meningkat karenanya.
Setelah Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah, tiga perempuan memegang kendali kerajaan Aceh. Mereka Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin Syah (1675 – 1677), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677 – 1688), dan Ratu Kamalat (1688 – 1699).
Saat kesultanan Aceh dipimpin oleh sultan Iskandar Tsani, di Aceh tinggal ulama Asal Gujarat, yakni Syekh Nuruddin ar-Raniri. Ulama ini menulis kitab Siratal Mustaqim, mengenal ibadah dalam islam. Atas permintaan sultan, ia menulis pula kitab Bustanus Salatin, yang menjadi karya terpopulernya.
Atas perlindungan Sultan Iskandar Tsani, Nuruddin ar- Raniri menyatakan terlarangnya ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Menurut fatwa Nuruddin, pemahaman keagamaan hamzah dan Syamsuddin tidak sesuai dengan ajaran islam yang asli. Lebih jauh lagi, Nuruddin ar-Raniri memimpin pembakaran buku-buku karya kedua ulama pendahulunya itu.
Saat tahta sultan Iskandar Tsani beralih ke Sultanah Taju al-Alam Syafiatuddin Syah, Nuruddin ar-Raniri meninggalkan Aceh. Posisinya sebagai ulama besar kerajaan digantikan oleh Abdurrauf as-Singkeli. Ulama ini juga dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Sultanah, pada tahun 1663 Abdurrauf as-Singkeli menulis kitab Mir’at at-Tullab fi tahsil Ma’rifat Ahmad asy Syari’iyyah li al Malik Wahhab atau cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada memudahkan mengenal segala hkum Syara Allah.
Mengiringi penulisan kitab-kitab karya Abdurrauf, Sultanah Taju al-Alam juga menggalakkan pendidkan Agama Islam melalui Jamiah Baiturrahman di banda Aceh, dan mengirim Al-Qur’an serta kitab-kitab karangan ulama aceh kepada raja-raja ternate, Tidore, dan Bacan di Maluku, selain mengirimkan pula guru-guru agama Islam.
Sultanah berikutnya adalah Sri Ratu Niqiyatuddin Nurul Alam, kemudian inayat syah, dan terakhir Kamalat Syah. Pada tahun 1699, pemerintahan sultanah atau sultan perempuan dihentikan. Sebab yang melatarbelakanginya cukup serius, yakni fatwa dari Mekah yang menetapkan bahwa syariat islam melarang wanita untuk memerintah negara.
Kesultanan aceh pada permulaan abad ke 18 mengalami serangkaian perebutan tahta. Beberapa sultan yang saling bersaing berasal dari golongan Sayid, yaknik keturunan Fatimah binti Nabi Muhammad SAW, yang lahir di Aceh. Salah satu Sayid yang menjadi sultan adalah Jamalul Alam badrul Munir, yang memerintah pada tahun 1703 – 1726. sultan ini dijatuhkan pada tahun 1726, lalu setelahnya melancarkan perlawanan terhadap sultan-sultan sesudahnya, termasuk Sultan Ahmad Syah (1727 – 1735) dan putranya, Sultan Johan (1735 – 1760). Jamalul Alam akhirnya meninggal dalam pertempuran melawan Sultan Johan.
Di tahun 1816, Sultan Saiful Alam bertikai dengan Jauharul Alam Aminuddin. Jauharul Alam memenangi suksesi dan menjadi sultan Aceh dengan bantuan Inggris. Setelah itu, aceh mengikat perjanjian dengan Inggris yang diwakili oleh Thomas Stamford Raffles. Lewat perjanjian itu, inggris mendapat kesempatan berniaga di Kesultanan Aceh, dengan imbalan jaminan keamanan bagi Aceh dari Inggris. Perjanjian ini dibuat pada tanggal 22 April 1818.
Pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris dan belanda membnuat perjanjian di london yang antara lain berisi penghormatan kedaulatan aceh oleh pihak Belanda. Pada tanggal 2 November 1871 ditandatangani Traktat Sumatra, perjanjian baru antara belanda dan Inggris dengan membatalkan perjanjian London. Perjanjian ini memberi kebebasan bagi Inggris untuk mengembangkan kekuasaan di Malaya, dan bagi Belanda untuk memperluas kekuasannya di Sumatra.
Pemerintahan kesultanan Aceh terus berjalan. Namun, pamornya lambat laun menyurut. Pertikaian internal terjadi tak kunjung henti. Sementara, pusat kegiatan ekonomi dan politik bergeser ke selatan ke wilayah Riau – Johor – Malaka. Aceh baru muncul lagi dua abad kemudian, yaknik pada akhir abad 19. saat itu, belanda berusaha menguasai wilayah tersebut. Perlawanan para bangsawan Aceh pun terjadi. Sekali lagi, sejarah aceh diwarnai oleh kepemimpinan kaum perempuan, yakni melalui perlawanan Tjut Nya’ Dhien. Dengan alasan mengalahkan Tjut Nya’ Dhien, belanda melanggar kedaulatan Aceh dengan menyerbu ibukota Kesultanan Aceh pada tahun 1873, menduduki Banda Aceh, serta kota-kota pantai lainnya. Pada januari 1874, istana kesultanan aceh dapat direbut Belanda. Sehingga, belanda menyatakan Aceh menjadi kepunyaan pemerintah Hindia beladan dan Kesultanan Aceh Darussalam dihapuskan.
Dalam kondisi demikian, perjuangan rakyat aceh belum berhenti. Sultan Mahmud syah yang berhasil meloloskan diri dari penyergapan Belanda masih terus bergerilya. Setelah akhirnya Mahmud Syah meninggal karena sakit, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat aceh beserta para panglima tanah Rencong, sampai tahun 1903.

Sejarah Agama islam di Indonesia | Kerajaan Perlak

Islam adalah agama di Indonesia yang paling banyak pemeluknya, bagaimana sih kok islam dapat masuk ke Indonesia? bagaimana kah sejarah islam di Indonesia ini? Silahkan baca artikel sejarah islam kerajaan parlak di bawah ini
Sejarah Agama islam di Indonesia
Agama islam masuk ke Indonesia secara besar besaran terjadi sekitar abad XIV dan XV, masuk dan berkembanganya islam di Indonesia ini juga tidak lepas dari kerajaan-kerajaan islam di Indonesia, seperti kesultanan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, Ternate dan lain-lain. agar lebih jelas dalam menyimak sejarah islam di Indonesia, bagian pertama ini mari kita simak tentang sejarah kerajaan Islam Kesultanan Perlak
Kesultanan Perlak
Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 masehi, Khalifah Usman bin Affan mengirim delegasi ke Cina. delegasi tersebut bertugas memperkenalkan agama islam. Waktu itu hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW. dalam perjalanan laut yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan usman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 Masehi, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat sumatra.
Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Agama Islam. Sejak saat itu, para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah. lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk agama islam, meskipun belum secara besar-besaran. Aceh daerah paling barat di kepulauan Nusantara adalah yang pertama kali menerima ajaran agama islam. bahkan di acehlah kesultanan atau kerajaan islam pertama di Indonesia berdiri, yakni kesultanan Perlak (Memang ada perbedaan pendapat, di versi lain menyebutkan kerajaan islam yang pertama adalah Samudra Pasai)
Kesultanan Perlak adalah kerajaan islam pertama di Nusantara, kerajaan ini berkuasa pada tahun 840 hingga 1292 Masehi di sekitar wilayah Peureulak atau Perlak. Kini wilayah tersebut mask dalam wilayah Aceh Timur, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Perlak Merupakan Suatu daerah penghasil kayu perlak, adalah kayu yang digunakan sebagai bahan dasar kapal. Posisi strategis dan hasil alam yang melimpah membuat perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad VIII hingga XII. sehingga, perlak sering disinggahi oleh Jutaan kapal dari arab, persia, gujarat, malaka, cina, serta dari seluruh kepulauan nusantara. karena singgahannya kapal-kapal asing itulah masyarakat islam berkembang, melalui perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Pendiri kesultanan Perlak adalah sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab Syiah. Ia merupakan keturunan pendakwah arab dengan perempuan setempat. Kerajaan perlak didirikannya pada tanggal 1 Muharram 225 H atau 840 masehi, saat kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu di Jawa masih berjaya. sebagai gebrakan mula-mula, sultan Alaiddin mengubah nama ibu kota kerajaan dari bandar Perlak menjadi Banda Khalifah.
Ketika pemerintahan Sultan Alaiddin Sayid maulana Abbas Shah, sultan ketiga, ulama-ulama bermazhab Sunni mulai masuk ke perlak dan menebarkan pengaruh. setelah wafatnya sultan pada 363 H atau 913 masehi, terjadi ketegangan antara kaum Syiah dengan kaum Suni, sehingga selama dua tahun berikutnya kesultanan Perlak vakum kekuasaan, tidak memiliki sultan.
Setelah masa dua tahun tersebut, kaum syiah memenangi persaingan, kemudian pada tahun 915 M atau 302 H, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya, terjadi lagi ketegangan antara kaum Syiah dan kaum Suni, yang kali ini membawa kaum suni pada keunggulan. Akibatnya, para sultan berikutnya diangkat dari golongan Sunni.
Tahun 956 masehi atau 362 H, setelah meninggalnya Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan berdaulat atau sultan ketujuh, terjadi lagi ketegangan selama kurang lebih empat tahun antara golongan Syiah dan Sunni, yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian ; yaitu Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Sayid Maulana Syah (986 – 988) dan Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (986 – 1023).
Pada tahun 988, Kerajaan Sriwijaya Menyerang Perlak. Sultan Alaiddin Maulana Syah meninggal karena serangan itu. Namun demikian, sebagai akibatnya, seluruh perlak justru bersatu kembali di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Berdaulat. Sultan Makhdum melanjutkan perjuangan melawan kerajaan Budha Sri Wijaya hingga tahun 1006.
Para Sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti, yaitu Dinasti Sayid Maulana Abdul Azis Syah dan Dinasti Johan Berdaulat. Di bawah ini merupakan nama-nama sultan yang memerintah kerajaan perlak ;
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah (840 – 864
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Rahim Syah (864 – 888)
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888 – 913)
- Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughat Syah (915 – 918)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir (928 – 932)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (932 – 956)
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik (956 – 983)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim (986 – 1023)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud (1023 – 1059)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik mansur (1059 – 1078)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah (1078 – 1109)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad (1109 – 1135)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik mahmud (1135 – 1160)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad (1173 – 1200)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil (1200 – 1230)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin (1230 – 1267)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz (1267 – 1292)
Berita dari marcopolo menyebutkan, pada saat persinggahannya di Pasai pada tahun 692 H atau 1292 M, telah banyak ulama arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Batuttah, Pengembara Muslim dari Maghribi (sekarang maroko). Ketika Singgah di aceh pada tahun 746 H atau 1345 M, ibnu Batuttah menuliskan bahwa di Perlak dan Pasai telah tersebar Mazhab Syafi’i.
Pada awal abad ke-13 di Ujung barat Sumatra berdiri kerajaan baru di bawah Sultan Malik Al-Saleh, bernama Samudra Pasai. Sementara di malaka, seorang pangeran asal Sri Wijaya membangun kerajaan baru bernama Malaka. Artinya situasi politik saat itu sedang memanas. Untuk itu, Sultan Makhdum Alaiddin mallik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (1230 – 1267) sebagai sultan ke 17 menjalankan politik persahabatan. Jalan yang ia tempuh adalah dengan menikahkan dua orang putrinya dengan para penguasa negeri tetangga. Putri ratna Kamala dinikahkannya dengan raja kerajaan Malaka yaitu Sultan Muhammad Syah Parameswara, sementara itu ganggang dinikahkan dengan raja kerajaan Samudra Pasai, malik Al-Saleh.
Meski telah menjalankan politik damai dengan mengikat persaudaraan, ketegangan politik itu rupanya tetap saja mengancam kedaulatan kesultanan Perlak. Perlak goyah, Sultan makdum Aliddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292) menjadi sultan yang terakhir. Setelah ia meninggal, perlak disatukan dengan kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, putra Al-Saleh.
itulah penjelasan mengenai Sejarah Agama islam Indonesia di Kerajaan Perlak, semoga artikel ini bisa menambah pengetahuan dan menfaat bagi kamu yang membutuhkan

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia

1) Jaman Majapahit (SERAT DARMOGANDUL) (oleh Laurent)

2) Jaman Pajajaran (oleh wachdiejr)

3) Mohtar Lubis : Islam masuk Indonesia secara damai ?

4) Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
oleh: Batara R. Hutagalung

5) KERIS: lambang peradaban Melayu (pra-Islam) yg dihancurkan Islam, oleh : Orang Melayu, Dr Fachdie Noor

6) Ulasan ttg buku VS NAIPAUL, 'Beyond belief : Islamic Excursions Among the Converted Peoples. In the Land of Converts: An Islamic Journey'

7) Jihad di Lombok & Bali

Kontroversi Serat Darmo Gandhul:
Betulkah Ki Kalam Wadi adalah Ronggo Warsito?

Masuknya Islam ke Tanah Jawa ternyata menyimpan cerita yang sungguh luar biasa. Salah satunya terekam dalam Serat Darmo Gandhul yang kontroversial itu. Dalam serat yang aslinya berbahasa Jawa Kuno itu
dipaparkan perjalanan beberapa wali, juga hambatan dan benturan dng budaya dan kepercayaan lokal.



Penulis serat ini tak menunjukkan jati diri aslinya. Ada yang menafsirkan,
pengarangnya adalah Ronggo Warsito. Ia pakai nama samaran Ki Kalam Wadi, yang berarti rahasia atau kabar yang dirahasiakan. Ditulis dalam bentuk prosa dengan pengkisahan yang menarik. Isi Darmo Gandhul tentu saja mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah, terpenggalnya kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke berbagai wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba, adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian massal oleh sekelompok orang yang ingin mengIslamkan P Jawa.

Terkait dengan kisah Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, kebetulan saya ada terjemahan Serat Darmo Gandhul yang aslinya berbahasa Jawa Kuno. Yang saya kirimkan berikut ini adalah versi yang tidak lengkap, bersumber dari Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Anda bisa baca dan menilai sendiri. Hanya agar lebih enak untuk dibaca, Posmo menyuntingnya disana-sini. Yang perlu dicatat, pembaca sendiri harus kritis menyikapi isi cerita yang mungkin amat tendensius ini.

Serat Darmo Gandhul pernah diterbitkan oleh Dahara Prize - Semarang
berukuran 15 cm x 15 cm. Berikut ini adalah tulisan tentang Serat Darmo Gandhul yang dimuat berseri di Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Isi dari serat ini rasanya masih relevan dikaitkan dengan zaman sekarang, dimana mulai bermunculan kelompok fundamentalis Islam, terorisme yang mengatas namakan agama, dan juga kelompok-kelompok yang bermimpi untuk mendirikan kekhalifahan Islam di negeri ini, dan juga di negara-negara Asia Tenggara lainnya.

c. Peranan Para Wali dan Ulama
Salah satu cara penyebaran agama Islam ialah dengan cara mendakwah. Di samping sebagai pedagang, para pedagang Islam juga berperan sebagai mubaligh. Ada juga para mubaligh yang datang bersama pedagang dengan misi agamanya. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat objek dakwah, dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah seperti berikut.
(1) Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik. Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
(2) Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
(3) Sunan Derajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
(4) Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
(5) Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang. Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan lingkungan setempat.
(6) Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di luar Jawa, yaitu Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama dengan metode bermain.
(7) Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah. Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
(8) Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat dengan rakyat jelata.
(9) Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.
3. Kapan dan dari mana Islam Masuk Indonesia
Sejarah mencatat bahwa sejak awal Masehi, pedagang-pedagang dari India dan Cina sudah memiliki hubungan dagang dengan penduduk Indonesia. Namun demikian, kapan tepatnya Islam hadir di Nusantara?
Masuknya Islam ke Indonesia  menimbulkan berbagai teori. Meski terdapat beberapa pendapat mengenai kedatangan agama Islam di Indonesia, banyak ahli sejarah cenderung percaya bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 berdasarkan Berita Cina zaman Dinasti Tang. Berita itu mencatat bahwa pada abad ke-7, terdapat permukiman pedagang muslim dari Arab di Desa Baros, daerah pantai barat Sumatra Utara.
Abad ke-13 Masehi lebih menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Pendapat ini berdasarkan catatan perjalanan Marco Polo yang menerangkan bahwa ia pernah singgah di Perlak pada tahun 1292 dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam.
Bukti yang turut memperkuat pendapat ini ialah ditemukannya nisan makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh yang berangka tahun 1297.
Jika diurutkan dari barat ke timur, Islam pertama kali masuk di Perlak, bagian utara Sumatra. Hal ini menyangkut strategisnya letak Perlak, yaitu di daerah Selat Malaka, jalur laut perdagangan internasional dari barat ke timur. Berikutnya ialah Kerajaan Samudra Pasai.
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
Di Kalimantan, Islam masuk melalui Pontianak yang disiarkan oleh bangsawan Arab bernama Sultan Syarif Abdurrahman pada abad ke-18. Di hulu Sungai Pawan, di Ketapang, Kalimantan Barat ditemukan pemakaman Islam kuno. Angka tahun yang tertua pada makam-makam tersebut adalah tahun 1340 Saka (1418 M). Jadi, Islam telah ada sebelum abad ke-15 dan diperkirakan berasal dari Majapahit karena bentuk makam bergaya Majapahit dan berangka tahun Jawa kuno. Di Kalimantan Timur, Islam masuk melalui Kerajaan Kutai yang dibawa oleh dua orang penyiar agama dari Minangkabau yang bernama Tuan Haji Bandang dan Tuan Haji Tunggangparangan. Di Kalimantan Selatan, Islam masuk melalui Kerajaan Banjar yang disiarkan oleh Dayyan, seorang khatib (ahli khotbah) dari Demak. Di Kalimantan Tengah, bukti kedatangan Islam ditemukan pada masjid Ki Gede di Kotawaringin yang bertuliskan angka tahun 1434 M.
Di Sulawesi, Islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo. Hal masuknya Islam ke Sulawesi ini tercatat pada Lontara Bilang. Menurut catatan tersebut, raja pertama yang memeluk Islam ialah Kanjeng Matoaya, raja keempat dari Tallo yang memeluk Islam pada tahun 1603. Adapun penyiar agama Islam di daerah ini berasal antara lain dari Demak, Tuban, Gresik, Minangkabau, bahkan dari Campa. Di Maluku, Islam masuk melalui bagian utara, yakni Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Diperkirakan Islam di daerah ini disiarkan oleh keempat ulama dari Irak, yaitu Syekh Amin, Syekh Mansyur, Syekh Umar, dan Syekh Yakub pada abad ke-8.

b. Peranan Bandar-Bandar di Indonesia
Bandar merupakan tempat berlabuh kapal-kapal atau persinggahan kapal-kapal dagang. Bandar juga merupakan pusat perdagangan, bahkan juga digunakan sebagai tempat tinggal para pengusaha perkapalan. Sebagai negara kepulauan yang terletak pada jalur perdagangan internasional, Indonesia memiliki banyak bandar. Bandar-bandar ini memiliki peranan dan arti yang penting dalam proses masuknya Islam ke Indonesia.
Di bandar-bandar inilah para pedagang beragama Islam memperkenalkan Islam kepada para pedagang lain ataupun kepada penduduk setempat. Dengan demikian, bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kalau kita lihat letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di pesisir-pesisir dan muara sungai.
Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang memeluk agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk agama Islam.
Peranan bandar-bandar sebagai pusat perdagangan dapat kita lihat jejaknya. Para pedagang di dalam kota mempunyai perkampungan sendiri-sendiri yang penempatannya ditentukan atas persetujuan dari penguasa kota tersebut, misalnya di Aceh, terdapat perkampungan orang Portugis, Benggalu Cina, Gujarat, Arab, dan Pegu.
Begitu juga di Banten dan kota-kota pasar kerajaan lainnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kota-kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam memiliki ciri-ciri yang hampir sama antara lain letaknya di pesisir, ada pasar, ada masjid, ada perkampungan, dan ada tempat para penguasa (sultan).

Berkembangnya Agama Islam di Indonesia

a. Peranan Kaum Pedagang
Seperti halnya penyebaran agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang
peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia
maupun para pedagang Indonesia.
Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang.
Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.
Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah ada penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama Islam makin banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.
Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia. Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam.
Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya muncul sebuah komunitas Islam, yang setelah kuat akhirnya membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.

Sejarah Lahirnya Islam Di Indonesia

Islam merupakan salah satu agama besar di dunia saat ini. Agama ini lahir dan berkembang di Tanah Arab. Pendirinya ialah Muhammad. Agama ini lahir salah satunya sebagai reaksi atas rendahnya moral manusia pada saat itu. Manusia pada saat itu hidup dalam keadaan moral yang rendah dan kebodohan (jahiliah). Mereka sudah tidak lagi mengindahkan ajaran-ajaran nabi-nabi sebelumnya. Hal itu menyebabkan manusia berada pada titik terendah. Penyembahan berhala, pembunuhan, perzinahan, dan tindakan rendah lainnya merajalela.
Islam mulai disiarkan sekitar tahun 612 di Mekkah. Karena penyebaran agama baru ini mendapat tantangan dari lingkungannya, Muhammad kemudian pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh dunia.
Muhammad mendirikan wilayah kekuasaannya di Madinah. Pemerintahannya didasarkan pada pemerintahan Islam. Muhammad kemudian berusaha menyebarluaskan Islam dengan memperluas wilayahnya.
Setelah Muhammad wafat pada tahun 632, proses menyebarluaskan Islam dilanjutkan oleh para kalifah yang ditunjuk Muhammad.
Sampai tahun 750, wilayah Islam telah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Afrika Utara, Irak, Suriah, Persia, Mesir, Sisilia, Spanyol, Asia Kecil, Rusia, Afganistan, dan daerah-daerah di Asia Tengah. Pada masa ini yang memerintah ialah Bani Umayyah dengan ibu kota Damaskus.
Pada tahun 750, Bani Umayyah dikalahkan oleh Bani Abbasiyah yang kemudian memerintah sampai tahun 1258 dengan ibu kota di Baghdad. Pada masa ini, tidak banyak dilakukan perluasan wilayah kekuasaan. Konsentrasi lebih pada pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Islam. Baghdad menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Setelah pemerintahan Bani Abbasiyah, kekuasaan Islam terpecah. Perpecahan ini mengakibatkan banyak wilayah yang memisahkan diri. Akibatnya, penyebaran Islam dilakukan secara perorangan. Agama ini dapat berkembang dengan cepat karena Islam mengatur hubungan manusia dan TUHAN. Islam disebarluaskan tanpa paksaan kepada setiap orang untuk memeluknya.

;;
Free Blue Multi Glitter Pointer Cursors at www.totallyfreecursors.com